Kolaborasi Ide, Kreatifitas dan Istiqomah dalam Menulis
Menyimak
kuliah online “Belajar Menulis” pada hari Jum’at, 05 Juni 2020 yang disampaikan
ibu Sri Sugihastuti dengan tema “Berbagi Pengalaman Menerbitkan Buku“ menjadi
kenikmatan tersendiri. Nikmat karena banyak pelajaran berharga yang dapat kita
petik dari pemaparan pengalaman beliau hingga menjadi penulis hebat.
Pelajaran pertama bahwa untuk dapat menerbitkan buku diawali dengan adanya ide tentang apa yang akan ditulis. Ide dapat muncul dari mana saja, entah dari aktivitas keseharian, pengalaman hidup, bahkan imajinasi, referensi dari berbagai media, cara ATM (amati, tiru, modifikasi) dan sebagainya. Memancing ide dapat diawali dengan menulis pengalaman atau hal yang kita ketahui. Saat sudah mulai menulis itulah biasanya ide akan bermunculan. Menganalisis pemaparan beliau pada sesi tanya jawab bahwa ide sebenarnya dapat bersumber dari true story atau fiksi. Ibu Sri Sugihastuti mengawali ide menulisnya dengan menceritakan pengalaman hidup nyata kedua orang tua serta kebersamaan beliau bersama orang tua. Tidak mudah tentunya dapat menulis karya setebal 418 halaman tanpa adanya ide yang melatar belakangi. Ide yang mungkin bagi kebanyakan orang sederhana yakni menuliskan pengalaman dari mulai dari kedua orang tua beliau masih remaja hingga menikah, dilanjut kebersamaan beliau bersama orang tua sampai beliau berusia 50 tahun. Hebatnya berawal dari ide inilah, beliau menyisipkan pengalaman batin dalam buku tersebut sehingga dapat menjadi mahakarya yang hebat. Menilik usia yang tidak lagi muda saat berproses menjadi seorang penulis yakni hampir setengah abad menunjukkan bahwa ide tidak lekang oleh usia. Selama manusia masih memiliki nyawa rasanya tidak akan pernah kehilangan ide.
Pelajaran pertama bahwa untuk dapat menerbitkan buku diawali dengan adanya ide tentang apa yang akan ditulis. Ide dapat muncul dari mana saja, entah dari aktivitas keseharian, pengalaman hidup, bahkan imajinasi, referensi dari berbagai media, cara ATM (amati, tiru, modifikasi) dan sebagainya. Memancing ide dapat diawali dengan menulis pengalaman atau hal yang kita ketahui. Saat sudah mulai menulis itulah biasanya ide akan bermunculan. Menganalisis pemaparan beliau pada sesi tanya jawab bahwa ide sebenarnya dapat bersumber dari true story atau fiksi. Ibu Sri Sugihastuti mengawali ide menulisnya dengan menceritakan pengalaman hidup nyata kedua orang tua serta kebersamaan beliau bersama orang tua. Tidak mudah tentunya dapat menulis karya setebal 418 halaman tanpa adanya ide yang melatar belakangi. Ide yang mungkin bagi kebanyakan orang sederhana yakni menuliskan pengalaman dari mulai dari kedua orang tua beliau masih remaja hingga menikah, dilanjut kebersamaan beliau bersama orang tua sampai beliau berusia 50 tahun. Hebatnya berawal dari ide inilah, beliau menyisipkan pengalaman batin dalam buku tersebut sehingga dapat menjadi mahakarya yang hebat. Menilik usia yang tidak lagi muda saat berproses menjadi seorang penulis yakni hampir setengah abad menunjukkan bahwa ide tidak lekang oleh usia. Selama manusia masih memiliki nyawa rasanya tidak akan pernah kehilangan ide.
Pelajaran
kedua adalah tentang kreatifitas. Belajar dari pengalaman ibu Sri Sugihastuti,
bahwa perlu adanya kreatifitas untuk menuangkan ide yang kita miliki agar karya
yang nantinya dihasilkan dapat diterima pembaca atau bahkan dapat menjadi best
seller. Setiap orang boleh memiliki ide, namun ketika tidak dirangkai secara
kreatif mungkin tidak akan menarik bagi orang lain terlebih apabila hal
tersebut terkait dengan pengalaman hidup. Kreatifitas beliau patut diacungi
jempol dalam mengemas kisah saat masih remaja hingga berusia 50 tahun yang
didalamnya disematkan proses menamatkan pendidikan S2 bahkan pengalaman religi
hingga memunculkan karya “Ku Gelar Sajadah Cinta“. Setiap orang mungkin
memiliki pengalaman serupa, namun sentuhan kreatifitaslah yang membedakan.
Apabila menilik pengalaman, setiap orang mungkin mendokumentasikan catatan
harian hidupnya dalam karya yang disebut “diary” namun karena kurangnya kreatifitas
hingga hanya menjadi self history untuk
dinikmati sendiri. Saat kreatifitas muncul, maka kita akan berusaha menggali
lebih dalam bagaimana trik agar dapat menuangkan tulisan dengan baik, membuat
pembaca tertarik dan penasaran dengan karya kita, memperkaya penalaman dari
para penulis-penulis hebat dan sebagainya.
Pelajaran ketiga, mengacu pada kesimpulan yang beliau sampaikan “Istiqomahlah dalam menulis”. Menulis adalah keterampilan, bukan bakat sehingga harus dilatih dari hal yang paling dekat yaitu ide yang berserak di sekitar kita. Oleh karena keterampilan itu berproses maka agar berhasil diperlukan kesungguhan dan kontinuitas disertai dengan motivasi yang tinggi. Beliau menyampaikan motivasi awal menulis adalah “untuk terapi berdamai dengan hati” melalui diary yang beliau unggal lewat blog akhirnya dapat menjadi sebuah karya yang dinikmati banyak orang. Menulis pengalaman pribadi menjadi karya setebal 418 halaman, tidak seperti ilmu sulap yang abrakadabra langsung jadi. Pengalaman beliau menulis buku “The Story Of Wonder Women” yang memerlukan waktu sekitar delapan bulan, bukanlah waktu yang sebentar. Perlu proses panjang yang membutuhkan jiwa “istiqomah” hingga akhirnya menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit. Istiqomah tidak saja fokus pada karya yang akan kita hasilkan, namun juga istiqomah membaca atau mengikuti yang selektif dengan kacamata yang utuh sebagai tambahan atau bahan pertimbangan dalam karya yang kita tulis. Seperti yang dicontohkan beliau dengan sering mengikuti kegiatan baik secara daring ataupun luring. Dukungan disiplin tinggi dalam menulis seperti adanya target kapan harus menyelesaikan tulisan serta focus pada target akan menambah nilai jiwa “istiqomah”. Bersatunya ide, kreatifitas dan istiqomah dalam karya yang akan kita hasilkan maka bersiap-siaplah untuk diterbitkan menjadi buku.
Pelajaran ketiga, mengacu pada kesimpulan yang beliau sampaikan “Istiqomahlah dalam menulis”. Menulis adalah keterampilan, bukan bakat sehingga harus dilatih dari hal yang paling dekat yaitu ide yang berserak di sekitar kita. Oleh karena keterampilan itu berproses maka agar berhasil diperlukan kesungguhan dan kontinuitas disertai dengan motivasi yang tinggi. Beliau menyampaikan motivasi awal menulis adalah “untuk terapi berdamai dengan hati” melalui diary yang beliau unggal lewat blog akhirnya dapat menjadi sebuah karya yang dinikmati banyak orang. Menulis pengalaman pribadi menjadi karya setebal 418 halaman, tidak seperti ilmu sulap yang abrakadabra langsung jadi. Pengalaman beliau menulis buku “The Story Of Wonder Women” yang memerlukan waktu sekitar delapan bulan, bukanlah waktu yang sebentar. Perlu proses panjang yang membutuhkan jiwa “istiqomah” hingga akhirnya menjadi sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit. Istiqomah tidak saja fokus pada karya yang akan kita hasilkan, namun juga istiqomah membaca atau mengikuti yang selektif dengan kacamata yang utuh sebagai tambahan atau bahan pertimbangan dalam karya yang kita tulis. Seperti yang dicontohkan beliau dengan sering mengikuti kegiatan baik secara daring ataupun luring. Dukungan disiplin tinggi dalam menulis seperti adanya target kapan harus menyelesaikan tulisan serta focus pada target akan menambah nilai jiwa “istiqomah”. Bersatunya ide, kreatifitas dan istiqomah dalam karya yang akan kita hasilkan maka bersiap-siaplah untuk diterbitkan menjadi buku.
Salam dari Lereng Lawu
Tags:
Kelas Omjay
0 komentar: