Kamis, 18 Maret 2021

Kacamata Religi Menyikapi Pandemi

Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Virus yang sebelumnya disebut dengan Corona itu masih masif menyebar di permukaan bumi. Tanda-tanda akan berakhirnya pandemi Covid-19 pun semakin tidak jelas. Terlebih Covid-19 termasuk virus yang “cerdas” karena mampu bermutasi menjadi berbagai jenis sehingga semakin menyulitkan dalam penanganannya.  Adanya mutasi virus tersebut mengancam efektivitas vaksin yang saat ini sedang dipergunakan secara massal.

Kilas balik pada awal munculnya, penyebaran virus Covid-19 memang tidak dibayangkan akan membawa dampak separah sekarang ini. Virus yang awalnya menyebar di Wuhan, Cina ini diprediksi akan mudah ditangani seperti jenis virus lainnya (flu burung, flu babi, Mers). Kenyataannya, semua negara dibuat kalang kabut menghadapi makhluk yang sebenarnya sangat lemah tersebut. Manusia juga harus belajar beradaptasi pada keadaan kenormalan baru, karena tidak dapat kembali menjalani kehidupan normal seperti keadaan sebelum pandemi.

Yah….kehadiran makhluk yang hanya berukuran nano tersebut, ternyata telah meruntuhkan kesombongan manusia. Bukankah selama ini manusia pamer bisa membuat teknologi canggih? Bukankan manusia selama ini pamer kehebatan senjata yang dimilikinya? Bukankah manuusia selama ini pamer akan kecerdasan yang dimilikinya sehingga tak segan menyalahi hukum Allah?

Melihat semua bentuk pamer dari makhluk yang bernama manusia, Allah pun masih menunjukkan sifat kasih sayangNya. Bukan burung Ababil yang membawa batu kerikil dari neraka yang diturunkan seperti saat Allah menghukum Raja Abrahah yang menyerang Ka’bah. Bukan pula azab berat yang menimpa umat-umat sebelum kita seperti zamannya Nabi Nuh dan Nabi Luth. Allah pun mengutus makhluk yang menurut ukuran manusia sangat lemah bernama Covid-19. Makhluk yang bisa mati hanya dengan air sabun. Allah masih begitu cinta kepada makhluknya, berkat permohonan Rasulullah SAW agar umatnya mendapatkan perlindungan sepeninggal beliau.

Belajar dari pandemi ini bahwa Covid-19 ternyata mampu menjadi “guru” yang mengajarkan betapa manusia itu sangat lemah. IQ yang dibangga-banggakan tak mampu segera menemukan solusi. Senjata canggih hanya teronggok tak berguna, Pondasi kokoh ekonomi pun goyah. Adikuasa dan adidaya dibuat bertekuk lutut. Tak terbayangkan jika Allah mengutus makhluk yang ukurannya lebih besar dan lebih mematikan. Tentu manusia di bumi ini akan musnah. Masih ingat serangan semut dan lebah di beberapa daerah beberapa waktu lalu? Manusia sudah dibuat kalang kabut.

Di tengah hiruk pikuk wabah Covid-19, berkecamuk perdebatan tentang keberadaan virus tersebut. Ada yang berpandangan bahwa virus itu alamiah adanya, Sebagian yang lain berpandangan bahwa virus itu sengata dibuat dan disebarkan. Pandangan tentang kesengajaan ini bahkan semakin kuat. Alasannya terkait dengan pemberitaan bahwa Pemerintah Cina membatasi akses Tim WHO untuk mendeteksi asal muasal virus, tidak segeranya WHO mengumumkan hasil investigasinya, hingga ada yang mengaitkan vaksin Sinovac dengan konspirasi virus sengata dibuat.

Semua analogi pun berkembang liar di masyarakat. Berbagai analisis dan praduga pun diungkap oleh banyak pakar baik yang membenarkan maupun menyanggah. Salahkah? Tak ada yang salah karena semua mengikuti takdir Allah. Bukankah Allah menganugerahi manusia dengan akal? Maka wajar jika manusia berlogika sebab Allah menganugerahkan kecerdasan untuk berpikir.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’ : 70).

Ayat tersebut tersirat makna bahwa manusia adalah makhluk yang mulia serta memiliki kelebihan dibandingkan makhluk lain yang telah diciptakan manusia. Salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia adalah akal yang digunakan untuk berpikir.

Terkait dengan keberadaan Covid-19, saya tak ingin larut dalam polemik. Selain tidak memiliki pemahaman terhadap dunia virus, juga bukan kapasitas saya untuk membahas persoalan mewabahnya Covid-19. Saya mengakui bukan ahlinya sehingga saya khawatir jika ikut berpolemik akan membuat kehancuran muka bumi lebih cepat..

Sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW): "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari)

Sesuai dengan keyakinan pribadi, bahwa lepas dari polemik wabah Covid-19 itu direncanakan atau tidak direncanakan oleh manusia, saya haqul yaqin semua kejadian di atas bumi ini adalah kehendak Allah. Tugas yang saya sadari hanyalah mengimaninya dan bersabar atas semua kehendak Allah. Semua adalah sunatullah yang wajib diimani, terlebih bagi saya sebagai orang Islam yang salah satu rukun imannya adalah iman atas kehendak Allah.

Berdasarkan apa yang saya pahami dari banyak sumber ilmiah, bahwa Covid-19 itu termasuk makhluk hidup. Jika demikian, bisakah manusia membuat makhluk hidup? Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, tak ada satupun makhluk di atas bumi ini, secerdas apapun dan secanggih apapun yang sanggup membuat makhluk hidup. Jadi mustahil manusia dapat menciptakan makhluk hidup. Jangankan makhluk, membuat satu surat semisal Qur'an saja tidak sanggup. Sebagaimana firman Allah :

Dan jika kamu meragukan (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak dapat membuat, dan (pasti) kamu tidak akan mampu, maka takultal kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah (2): 23-24).

Kesimpulannuya bahwa semua ada yang ada di langit dan bumi adalah ciptaan Allah. Allah berfirman : “Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Celakalah bagi orang yang ingkar kepada Tuhan karena siksaan yang sangat berat,” (QS. Ibrahim (14) : 23-24).

Covid-19 sebagai makhluk hidup, sudah pasti ciptaan Allah. Bagaimana dia ada dan menyebar ke seluruh penjuru bumi itu juga atas izin Allah. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka."(QS. Al-Israa': 44). Tidak mungkin jika Covid-19 menyebar tanpa seizin Allah. Virus juga hanya menginfeksi orang-orang yang telah dipilih oleh Allah. Menjadi perantara kematian bagi orang-orang yang telah tiba saatnya berpulang ke hadirat Allah.

Bukankah selembar daun yang jatuh dari pohonnya pun juga atas izin Allah? “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am 6: Ayat 59).

Meski Allah telah menjelaskan secara gamblang di dalam Al Qur’an, tetap saja manusia mengandalkan alam logikanya untuk mencari kebenaran secara ilmiah. Apakah itu di larang? Tidak ada yang melarang. Sebagaimana telah di jelaskan di atas bahwa anugerah yang bernama akal itu digunakan untuk berpikir. Namun, berpikir yang dimaksud adalah berpikir akan tanda-tanda kebesaran Allah. Setelah itu menumbuhkan keimanan yang kuat, Bukan sebaliknya, justru melahirkan pandangan yang membawa pada kekufuran. Jika kita menganggap Covid-19 itu buatan orang Cina sama halnya kita telah kufur. Mengapa? Secara tidak langsung kita telah mengakui bahwa ada kuasa lain yang mampu membuat virus (baca: menciptakan makhluk hidup).

Tak hanya sekedar urusan virus saja yang membuat manusia terkadang terlalu mengandalkan akal ilmiahnya, hingga tak sadar membuatnya jauh dari Allah. Membuatnya tidak mengimani ayat-ayat Allah. Apa buktinya? Hingga saat ini masih ada yang mempersoalkan alasan haramnya daging babi dan minum khamr. Bahkan ada yang memberikan pandangan bahwa haramnya daging babi karena mengandung cacing pita. Haramnya khamr karena membuat orang mabuk sehingga melupakan Allah.

Nah… di zaman modern dengan berbagai peralatan canggihnya, cacing pita dalam daging babi akhirnya dapat disingkirkan. Dagingnya pun tidak lagi mengandung cacing pita. Khamr yang aslinya memabukkan, akhirnya dipergunakan untuk mengolah makanan yang sering ditemui di berbagai tempat makan. Orang yang memakan makanan yang dioleh dengan mencampurkan khamr pun tidak mabuk.

Jika daging babi bebas cacing dan khamr dalam makanan tidak memabukan, apakah lantas membuatnya jadi halal? Tentu tidak!!! Apapun yang diharamkan oleh Allah di dunia ini, tentu buruk bagi manusia. Hukumnya wajib bagi orang yang beriman untuk tunduk dan patuh tanpa harus bertanya “mengapa”. Bukankah Rasulullah sebagai hamba yang sangat dikasihi Allah juga tidak pernah bertanya kepada Allah jika sesuatu hal itu diharamkan Allah? Rasulullah SAW pun menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah.

Tak sebatas hal halal haram saja. Urusan ghaib saja masih juga diperdebatkan seperti peristiwa yang baru saja diperingati yakni Isra’ Mi’raj. Masih saja muncul polemik, bagaimana perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa  kemudian ke langit ketujuh? Seperti apa kecepatan tunggangan Rasulullah? Saat mi’raj hingga langit ke tujuh itu hanya jiwanya saja jiwa dan raganya? Bolehkan kita melogika, tentu saja boleh. Namun melogika kuasa Allah yang hanya cukup dengan berkata “Kun Fayakun” tentu diluar batas logika manusia.

Gara-gara berpolemik soal Isra’ Mi’raj terkadang umat Islam sendiri lupa akan esensi peristiwa tersebut. Yakni, Rasulullah menerima wahyu untuk melaksanakan shalat lima waktu. Kenyataannya, berapa banyak orang yang mengaku Islam justru tidak shalat? Berapa banyak yang paham isra’ mi’raj tapi shalatnya tidak tertib atau bahkan bolong-bolong?

Intinya bahwa semua yang ada di dunia ini dijadikan Allah sebagai ujian  bagi manusia. Perintah dari Allah untuk menguji sejauh mana manusia dapat menjaga ketaatannya, sedangkan larangan dari Allah untuk menguji seberapa tangguh manusia dapat menjauhinya. Bagaimana dengan Covid-19? Ia adalah ujian bagi keimanan kita. Banyak justru yang terjebak dalam polemik, tapi lupa bahwa semua terjadi atas kehendak Allah.

Marilah kita segera membangun kesadaran. Covid-19 adalah ciptaan Allah. Covid-19 bertasbih kepada Allah. Covid-19 bukan makhluk brutal. Ia hanya akan menginfeksi orang yang dikehendaki Allah. Jangan hanya terpenjara dengan alam ilmiah, tapi gunakan hati untuk mengimani. Agar kita tidak semakin jauh dari Illahi. Kita makhluk yang lebih sempurna dari Covid-19, tapi belum tentu kita lebih mulia darinya. Mengapa? Covid-19 hanya taat kepada perintah Allah, sedangkan kita terkadang masing mengingkari perintah Allah.

Selain senantiasa berusaha dan berdoa, hal terbaik yang perlu untuk segera dilaksanakan di masa pandemi ini adalah, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,” (Qs, Ali Imran (3): 133).  Bersegeralah berarti menyegerakan untuk mengerjakan hal-hal yang baik, yakni meraih ampunan Allah. Tetaplah waspada, karena Covid-19 bisa menyebabkan kita jatuh dalam kekufuran.

 

Lereng Lawu,

18 Maret 2021

Previous Post
Next Post

0 komentar: