Kamis, 03 September 2020

Tantangan Serba Pertama

MENGUKIR PRESTASI MEMAHAT PRASASTI 

Mulanya biasa saja
Kita saling bersua
Di kelas lewat WA
Semua biasa saja

Tak pernah kubayangkan
Dijapri Bunda Lilis
Tulis Kisah Inspirasi
Menyatu dalam mimpi

Malam Rabu begini
Aku memoderasi
Menemani Pak Sahat
Mengobarkan Semangat

Ditemani sang istri
Memberi inspirasi
Di dalam kelas ini
Akhirnya ku Berbagi

Lirik di atas saya gubah dari lagu “Mulanya Biasa Saja” ciptaan Pance Pondaag dan dibawakan aktris sekaligus penyanyi Meriam Bellina. Lagu itu cocok untuk menggambarkan kondisi saya saat mengikuti WAG Menulis Buki Inspirasi.

Ya, awalnya memang biasa saja bergabung dalam kelas menulis online melalui WA Grup. Pertama kali mengenal kelas menulis online melalui web PGRI Pusat yang akhirnya membawa saya mengikuti Kelas Menulis Gratis Omjay. Berada dalam kelas tersebut bertemulah saya dengan para peserta dan nara sumber seantero nusantara. Permulaan kelas sempat bingung dan hampir keluar dari group karena tidak seperti yang saya harapkan.

Meski pertemuan pertama kurang begitu menggoda, tapi selanjutnya terserah Anda. Ibarat minum secangkir kopi, lama kelamaan akhirnya nikmat juga. Itulah yang saya rasakan kemudian. Kelas pun saya ikuti sampai selesai. Tak cukup sampai di situ, saking nikmatnya, kelas-kelas menulis online lainnya saya ikuti. Tercatat hingga saat ini di HP saya ada enam grup menulis online yang saya ikuti.

Nah, di kelasnya Omjay itulah saya mengikuti materinya Ibu Dra. Lilis Ika Herpianti Sutikno, SH., dengan materi Menulis Inspirasi. Beliau memberikan tantangan menulis resume dari materi yang dipaparkan beliau. Saya nyaris tidak mengikuti tantangan tersebut, karena di awalnya tantangan hanya diberikan kepada pembuat dan pengirim resume tercepat. Saya sadar kalau harus cepat, kalah deh sama para penulis hebat lainnya. Soalnya, selama mengikuti kelas ini, pasti sudah ada standby yang mengirimkan resume begitu nara sumber selesai memaparkan materinya.

Namun, ternyata takdir memang harus mempertemukan saya lebih dekat dengan Bunda Lilis, panggilan Ibu Dra. Lilis Ika Herpianti Sutikno, SH. Melalui chat WA yang beliau share, syarat tantangan tidak lagi pengirim resume tercepat, tapi terbaik. Iseng-iseng coba mengikuti tantangan dengan mengirimkan tulisan berjudul “BUNDA LILIS SUTIKNO: SANG PENDEKAR MENULIS INSPIRATIF DARI NTT’. Naskah lengkapnya dapat dibaca di blog : http://maseko1275.blogspot.com/2020/08/bunda-lilis-sang-pendekar-menulis.html.

Respon Bunda Lilis diluar dugaan saya. Biasanya saya hanya mendapat komen bagus, jos, semangat literasi, teruslah menulis. Inilah respon Bunda Lilis yang saya capture dari blog.

Respon inilah yang membuat saya makin aktif menulis di blog saya (blogger, wordpress dan kompasiana), meskipun sifat tulisan hanya remeh temeh. Berusaha keluar dari zona nyaman, karena selama ini banyak membuat buku dan tulisan yang cenderung ilmiah.

Sang mentari pun terus bergulir menjalankan tugasnya, memutar waktu mengganti hari. Hingga tibalah waktu sore hari menjelang magrib tanggal 23 Agustus 2020. Saat membuka handphone, ada grup baru dengan nama MENULIS BUKU INSPIRASI menambahkan saya sebagai salah satu anggota grup. Grup itu yang ternyata dibentuk oleh Bunda Lilis karena saya telah mengisi form menulis buku antologi tentang kisah inspirasi. Ooo..ternyata itu dasar saya dimasukkan dalam grup. Bagi saya memang wajar, karena sebelumnya saya juga dimasukkan dalam dua grup menulis buku antologi.

Senin malam, 24 Agustus 2020 kegiatan kelas online pun di mulai. Bunda Lilis selaku inisiator menjadi nara sumber pada malam itu. Beliau didampingi Bapak Sahat Serasi Naibaho,S.Si.,Gr., yang berprofesi sebagai tenaga pendidik mata pelajaran IPA di SMPN 2 Dolok Sigompulon, Padang Lawas Utara, Sumatera Utara.

Sama saat menjadi nara sumber di kelasnya Omjay, Bunda Lilis menyajikan materi dengan penuh semangat dan memotivasi. Materi yang disampaikannya pun juga menarik, yakni tentang Cara Praktis Menulis. Hasil resume pertemuan itu saya abadikan dalam blog http://maseko1275.blogspot.com/2020/08/berguru-menulis-inspirasi-daripegiat.html.

Selesai penyajian materi, saya beristirahat sejenak setelah seharian menjalankan aktivitas hari Senin yang begitu padat. Saya mengobrol dengan anak kedua saya tentang tugas daring di sekolahnya. Berselang beberapa menit kemudian ada notifikasi di handphone saya. Setelah saya buka ada grup baru menambahkan saya yakni grup “RUANG RAPAT NARASUMBER”. Ternyata Bunda Lilis yang membuat grupnya.

Grup yang kedua ini sesaat membuat saya bertanya-tanya karena hanya ada empat anggota yaitu Bunda Lilis, Pak Sahat, Pak Nengah dan saya sendiri. Mengapa saya dimasukkan dalam ruang rapat narasumber? Apa hubungan saya dengan nara sumber? Apa peran saya di grup ini? Sejurus kemudian, pertanyaan itu terjawab oleh sapaan Bunda Lilis di grup “Selamat malam para Narasumber hebat”.

Saya tertegun oleh sapaan itu karena sebelumnya tidak ada pemberitahuan apapun soal moderator, narasumber atau sejenisnya. Sesaat kemudian Bunda Lilis makin membuat saya tambah tertegun. Beliau chat “Besok Pak Sahat narasumber dan di bantu Pak Eko Moderator”. Beliau memberi tugas agar Selasa malam, 25 Agustus 2020 saya menjadi moderator menemani Pak Sahat.

Belum hilang rasa dalam dada, Bunda Lilis menulis chat “Kamis Pak Eko Narasumber... di bantu Pak I Negah yaa?...”. Membaca chat itu sontak hati kecilku berkata “Ya Allah, anugerah apa yang sedang Engkau berikan padaku”. Bergejolak rasa dalam hati antara bahagia dan was-was. Bahagia karena mendapat kesempatan untuk menjadi moderator dan nara sumber kelas menulis, dimana sebelumnya saya hanya duduk sebagai peserta. Was-was karena saya belum pernah menjadi moderator ataupun nara sumber di kelas online menggunakan chat WA. Maklum saja, saya kurang familier menulis chat dan lebih banyak menjadi penyimak saja.

Bagi saya itu adalah tantangan yang harus dijawab. Mendapat tugas tersebut, saya buka kembali chat dari kelas menulis sebelumnya. Dari situlah saya belajar instan cara dan gaya menjadi moderator maupun nara sumber. Chat dari para moderator saya simak perlahan-lahan untuk menemukan gaya yang paling komunikatif. Berbekal ilmu instan tersebut, akhirnya saya melaksanakan tugas dari Bunda Lilis.

Selasa malam, 25 Agustus 2020 pukul 19.10 WIB saya melaksanakan tantangan pertama menjadi moderator. Awalnya memang canggung karena harus menulis segalanya di chat WA. Saya berusaha sekomunikatif mungkin dengan mengawali mengucapkan salam pembuka, memperkenalkan diri saya dan nara sumber. Saya juga menyampaikan kepada para peserta bahwa kegiatan terbagi menjadi dua sesi yaitu pemaparan dari nara sumber pada sesi 1 dan tanya jawab pada sesi 2. Mengawali kegiatan sesi pertama, saya menyerahkan sepenuhnya kelas kepada Pak Sahat selaku nara sumber.

Selama dua jam lebih saya memandu jalannya kegiatan dengan segenap kemampuan yang saya miliki. Maklumlah, pengalaman pertama tentu sangat banyak kekurangan. Setelah menutup kegiatan, barulah saya lega telah menuntaskan tugas. Perasaaan yang bekecamuk sejak pagi akhirnya sirna. Entah bagaimana tanggapan peserta maupun nara sumber yang lain, yang jelas saya sudah menjawab tantangan. Tantangan itu akan menjadi kenangan abadi. Kenangan yang terukir indah hingga akhir usia dan kelak saya ceritakan kepada anak cucu saya.

Tantangan berikutnya sudah menghadang yaitu menjadi nara sumber. Mengingat waktu yang mendadak dan belum pernah mengisi kelas online melalui grup WA, saya memanfaatkan ilmu dari ringkasan puluhan resume dari kelas menulis Omjay. Ringkasan resume yang akan saya terbitkan menjadi buku itu berjudul “Resep NIKMAT dalam Menulis”. Segera saya ringkas menjadi bentuk power point yang mencakup semua materi yang ada.

Namun dalam rapat Rabu malam, Bunda Lilis memberi tahu kalau ada perubahan jadwal. Sebenarnanya tanggal 27 Agustus 2020, saya didapuk menjadi nara sumber kelas Menulis Buku Inspirasi. Namun rencana itu urung terwujud dikarenakan terjadi pergeseran jadwal. Bapak Thomas sebagai narasumber pada Jum’at malam, 28 Agustus 2020 berhalangan hadir karena harus menjadi nara sumber di acara lain. Akhirnya beliau yang menjadi nara sumber pada pertemuan Kamis malam.

Dikarenakan pergeseran jadwal itulah, saya juga tidak dapat menjadi nara sumber pada Jum’at malamnya. Malam itu saya ada kegiatan kemasyarakatan. Untuk mengisi kekosongan, kegiatan diisi oleh Bunda Lilis dengan dimoderatori Pak Sahat. Akhirnya saya dapat mengukir kisah menjadi nara sumber pada hari Senin malam, 31 Agustus 2020, bertepatan dengan penghujung akhir bulan Agustus 2020.

Sejak Senin pagi, rasa grogi sudah mulai menghantui. Maklumlah, karena menjadi nara sumber kelas online ini merupakan pengalaman saya yang pertama. Pagi menjelang siang Pak Sahat sudah menanyakan biodata dan slide presentasi. Segera saya kirimkan agar bisa dishare di grup kelas. Selepas siang, profil saya sudah terpampang di grup kelas.

Selepas kantor hingga menjelang magrib, saya mempersiapkan materi melalui Ms Word. Tujuannya agar saat memberi penjelasan dapat saya copas di chat WA sehingga kelas berjalan lancar. Saya juga membuat capture dari slide presentasi berikut keterangan pendukungnya. Hal ini saya maksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi kendala jaringan sehingga slide tidak dapat terkirim.

Sejak pukul enam petang, Pak Sahat sudah mulai mengedarkan absensi kelas serta mengecek kesiapan peserta dibantu Bunda Lilis. Format kegiatan pun berubah dari semula pertanyaan tidak langsung menjadi pertanyaan langsung. Pada pertemuan sebelumnya penanya harus mengirimkan jawaban kepada moderator baru dikirimkan ke grup kelas. Jadi lengkaplah tantangan yang harus saya hadapi. Malam itu juga istimewa karena di grup hadir para dosen hingga profesor. Pesertanya pun juga luar biasa mencapai 105 anggota.

Pukul 19.05 WIB, kegiatan pun mulai dilaksanakan. Seperti biasanya Pak Sahat membuka pertemuan, mengkondisikan para peserta dan memberikan sambutan dengan Tari Gambyong menyambut kehadiran saya di kelas. Awal pertemuan saya mengisahkan bagaimana mulanya saya suka menulis hingga akhirnya mengobarkan semangat peserta untuk menulis dan menulis.

Materi utama yang saya sampaikan adalah resep NIKMAT dalam menulis yaitu Niat, Ide, Konsistensi, Motivasi, Alat dan Time/Timing. Saya bawakan materi dalam bentuk chat yang sudah saya persiapkan. Sebagian capture tidak dapat terkirim karena gangguan jaringan internet. Untunglah Pak Sahat cukup tanggap mengatasi situasi tersebut.

Selepas pemaparan materi dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Ternyata para peserta antusias menyimak. Terbukti beberapa materi menjadi fokus perhatian yaitu penggunaan aplikasi memo/catatan untuk menulis, konsep habitual dalam menulis, blog walking hingga nikmatnya dalam menulis. Satu per satu pertanyaan saya jawab dengan pengetahuan yang saya miliki.

Akhirnya kegiatan berakhir jam 21.00 WIB. Perasaan saya sangat lega karena sempat khawatir tidak dapat menjawab pertanyaan dari peserta. Semua seolah terbayar dengan apresiasi dari para peserta dan nara sumber lainnya. Bunda Lilis bahkan menulis chat berikut:
Chat yang sangat menginspirasi saya untuk terus berkarya berbagi dan menulis. Semua terwujud juga berkat inspirasi yang diberikan Bunda Lilis. Jika Bunda Lilis tidak membawa saya terbang ke NTT mengikuti kelas MBI tentunya saya tidak akan pernah berkesempatan menjadi moderator maupun nara sumber. 

Terima kasih teruntuk Bunda Lilis yang juga telah memilih saya menjadi pemenang hati Bunda saat membuat resume materi beliau di kelas menulisnya Omjay. Kesempatan yang telah diberikan adalah anugerah sekaligus hadiah yang sangat luar biasa bagi saya. 

Keberhasilan menunaikan tugas sebagai moderator maupun nara sumber terus akan terukir menjadi prasasti dalam hati sebagai sebuah prestasi. Prestasi yang telah diapresiasi oleh para peserta sekaligus nara sumber yang lain. Prestasi yang menjadi langkah awal untuk membuka lembar-lembar prestasi berikutnya.  

Saya mengajak kepada para rekan-rekan semua, marilah terus mengasah kemampuan menulis. Menulis bukan soal bakat, namun merupakan kebiasaan yang apabila dilakukan secara konsisten akan menjadikan kita terampil dalam menulis. Selain itu, terimalah setiap tantangan yang datang terlebih dalam menulis. Bisa jadi itu akan menjadi jalan bagi rekan-rekan semua menemui takdir menulis. 

Terima kasih Bunda Lilis, rekan-rekan nara sumber dan para penulis hebat. Marilah terus berkarya dan saling menguatkan.

Lereng Lawu, 03 September 2020



 

Rabu, 02 September 2020

Menempa Mental Baja

MENEMPA MENTAL BAJA DI ALASKA
 Penulis : Eko Daryono

"Karakter tidak dapat dikembangkan dalam kemudahan dan ketenangan. Hanya melalui pengalaman pencobaan dan penderitaan, jiwa dapat diperkuat, visi menjadi jelas, ambisi terinspirasi, dan kesuksesan dicapai." - Helen Keller.

Nukilan kata motivasi di atas rasanya identik dengan apa yang pernah saya alami. Ternyata tidak semua penderitaan membawa kesengsaraan. Apa yang saya rasakan justru sengsara itu membawa nikmat. Nikmat yang saya dapat adalah terbentuknya karakter bermental baja dan selalu berupaya untuk mengatasi segala persoalan. Alhamdulillah saya dapat berperan sebagai solution maker di berbagai posisi yang saya emban. Berkat penanaman karakter dari orang tua dan tempaan keadaan masa lalu.
Kisah ini saya ceritakan berdasarkan apa yang saya ingat sewaktu duduk di kelas 3 sekolah dasar atau saat berusia 10 tahun. Karena tak semua kisah di waktu kecil dapat saya ingat kembali dengan jelas. Saya lahir 45 tahun yang lalu, di sebuah dusun kecil yang masih jarang penduduknya. Dusun Ngasem, itulah nama dusun kelahiran saya. Letaknya kurang lebih 30 kilometer dari kota Kabupaten Karanganyar dan 3 kilometer dari kota Kecamatan Kerjo. Sebuah dusun yang sangat terisolir dari dunia luar karena letaknya di tengah hutan karet sehingga sering disebut kampung alaska atau kampung di tengah alas (hutan) karet.
Dusun Ngasem dapat dikatakan lebih dari tertinggal pada tahun 1980-an. Infrastruktur jalan yang jauh dari kata layak, karena hanya beralaskan tanah dan harus melewati perkebunan karet milik PTP VIII Kerjo Arum. Pada saat musim penghujan, jalan tidak dapat dilewati kendaraan. Selain banyak kubangan air, jalan juga licin karena bertekstur tanah liat. Waktu itu di dusun saya hanya segelintir orang yang memiliki kendaraan bermotor. Seingat saya, baru Pak Sutris (pegawai pos) dan Pak Jafar (pegawai bank) yang memiliki sepeda motor. Orang dusun lebih banyak beraktifitas dengan berjalan kaki betapapun jauhnya. Bahkan untuk pergi ke pasar terdekat, Pasar Batujamus, yang jaraknya 7 kilometer pun juga berjalan kaki.
Keadaan tersebut diperparah dengan ketiadaan aliran listrik, sehingga masyarakat hanya mengandalkan lampu minyak atau lampu teplok sebagai penerangan di waktu malam. Setiap malam saya belajar bersama adik-adik saya dibawah cahaya temaram lampu dinding. Beruntungnya pada masa itu masih jarang masyarakat yang menggunakan alat elektronik menggunakan listrik. Alat komunikasi yang dimiliki masyarakat Dusun Ngasem umumnya adalah radio transistor ditenagai baterai. Televisi menjadi barang yang sangat ekslusif karena satu kampung hanya Pak Mo yang memilikinya. Itupun hanya bisa ditonton seminggu sekali saat malam Minggu karena mengandalkan stroom accu di kota.
Kondisi dusun juga tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi warga yang hampir 97% berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat hanya dapat mengandalkan sektor pertanian, tanaman palawija di tanah tegalan, serta menjadi buruh di perkebunan karet. Hanya segelintir orang yang dapat mengenyam pekerjaan formal. Termasuk Bapak saya yang berprofesi sebagai guru. Namun apalah daya, gaji guru tahun 1970-an jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga selama satu bulan. Tak heran, Bapak harus banting tulang selepas mengajar di sekolah. Itulah mengapa Kakek dan Bapak mengatakan jangan pernah bercita-cita menjadi guru, jadilah pegawai bank. Kata-kata itu masih terngiang di telinga saya hingga sekarang.
Iseng-iseng saya pernah membuka file berkas Bapak di almari yang sudah keropos dimakan teter (seranggga pemakan kayu). Betapa terkejutnya saat saya tahu ternyata gaji Bapak hanya dua belas ribu rupiah untuk menghidupi lima orang anggota keluarga. Tak terasa menetes air mata saya, ternyata Bapak pantang menyerah agar mampu menyekolahkan kami bertiga hingga sarjana. Meskipun hingga pensiun empat belas tahun yang lalu, Bapak juga masih berhutang di bank untuk membiayai kami bertiga.
Beratnya kehidupan 35 tahun lalu masih terbayang jelas di kelompak mata saya. Saya sekeluarga tinggal di rumah berukuran enam kali lima meter persegi dengan dinding dari anyaman bambu dan menumpang di tanah milik orang. Hari-hari saya lalui dengan penderitaan yang mungkin tidak dirasakan anak zaman sekarang, apalagi sekelas anak seorang guru. Bangun sebelum waktu subuh, mengisi bak mandi, mengisi tempayan air minum, mencari rumput, menggembala kambing adalah aktivitas rutin yang menemani saya mengiring berputarnya waktu. Bapak adalah seorang pendidik yang keras baik di sekolah maupu di rumah. Mas Agung, mantan murid Bapak pernah bercerita kalau Bapak saya adalah guru killer kalau istilah sekarang.
Setiap pukul dua dini hari, ibu sudah membangunkan saya untuk menemaninya mengambil air di sumber mata air satu-satunya di kampung saya. Jarak tempuh pulang pergi sekitar lima kilometer. Berbekal dua jerigen air bervolume tujuh belas literan, saya memikul air bersih untuk mengisi dua tempayan air besar di dapur. Maklum saat itu belum ada layanan air bersih. Meskipun ada sumur di sebelah barat rumah, namun airnya tidak layak diminum karena berwarna coklat. Setiap hari saya harus bolak-balik sebanyak dua kali di waktu pagi dan dua kali di waktu sore ke mata air itu. Meskipun berjalan hampir dua puluh kilometer setiap hari, tetapi ringan terasa karena banyak teman yang beraktifitas serupa.
Selepas mengisi tempayan air, tugas selanjutnya menimba air untuk memenuhi bak mandi rumah. Sekilas pekerjaan itu mudah, tapi kedalaman sumur di rumah saya tiga puluh tiga meter. Setidaknya saya harus menimba sepuluh kali untuk dapat memenuhi bak mandi setiap pagi dan sore. Capek memang, namun sedikitpun tak terbersit perasaan mengeluh. Mungkin karena usia saya masih sekolah dasar. Pikiran yang terlintas hanyalah ingin segera menyelesaikan pekerjaan agar bisa segera ke sekolah jika pagi atau bermain jika sore hari.
Setiap pagi jam setengah tujuh, saya harus bersiap berangkat sekolah. Kebetulan sekolah saya dekat, letaknya hanya di seberang jalan depan rumah. Waktu sekolah pun dengan kondisi seadanya tanpa memakai alas kaki. Saya masih ingat hingga lulus SD tidak pernah memakai sepatu. Fasilitas sekolahpun juga sangat terbatas. Meja dan kursi panjang ditempati oleh empat siswa sekaligus. Papan tulis dari papan kayu bercat hitam dengan kapur sebagai alat tulisnya. Buku pelajaran pun diberikan turun temurun dari kakak angkatan sebelumnya. Baju seragam sekolah pun hanya tiga pasang yang dipakai dua hari sekali.
Guru dalam mengajar tidaklah seramah guru model era milenial. Karakter mendidik dengan kedisiplinan tingkat tinggi selalu saya rasakan hingga lulus sekolah dasar. Saya masih ingat dan terkenang dengan dua orang guru saya yang sudah almarhum yaitu Pak Kas (kepala sekolah) dan Pak Di (wali kelas enam). Sebelum masuk kelas, satu persatu harus dapat menjawab soal pengurangan, penjumlahan, perkalian dan pembagian. Apabila tidak mampu menjawab maka tidak boleh masuk kelas bahkan hingga pelajaran selesai.
Pak Di khususnya selalu mengajar dengan sangat disiplin. Saat pelajaran mencongak, kedua tangan siswa harus diletakkan di atas meja. Apabila tidak dapat menjawab maka pemukul rotan akan melayang ke tangan. Kondisi tersebut berlangsung setiap pembelajaran Matematika. Meskipun demikian, tidak ada rasa takut ataupun dendam baik kepada Pak Kas maupun Pak Di. Saat beliau datang setiap pagi, tetap saja kami berebut membawakan tas beliau berdua ke dalam kantor. Entah magis apa yang membuat kami selalu menaruh rasa hormat yang begitu mendalam kepada beliau berdua.
Jangan pernah membandingkan dengan kondisi sekarang yang apa-apa sedikit anak mengeluh diperlakukan guru dan bahkan orang tua mengkasuskan guru. Kerasnya pendidikan pada masa lalu bukan dimaksudkan untuk menyiksa atau membuat siswa menderita, namun membentuk karakter agar siswa memiliki mental baja serta memiliki daya ingat yang baik. Apalagi pendidikan menjadi barang yang tergolong mahal karena tidak semua anak bisa merasakan bangku sekolah.
Sehabis maka siang sepulang sekolah jam satu siang, saya berangkat menggembala kambing bersama teman sepermainan. Sabit dan karung bekas pupuk selalu saya bahwa untuk mencari rumput. Saat kambing makan rumput di padang rumput, saya dan teman-teman mencari rumput di pematang sawah. Waktu menggembala kambing dan mencari rumput pun terbatas hanya sampai jam setengah empat sore. Oleh karena itu, saya benar-benar memanfaatkan waktu sekalian untuk bermain bersama teman-teman sebaya.
Kegiatan harian begitu ketat dijadwal oleh Bapak dan tidak ada toleransi keterlambatan. Apabila terlambat maka konsekuensinya mendapat hukuman pukul pantat dengan rotan atau tidak mendapat jatah makan. Maklum saat itu nasi menjadi barang yang mahal. Nasi jagung dan tiwul (nasi singkong) adalah makanan sehari-hari kami sekeluarga. Meskipun menggarap sebidang tanah sawah punya Kakek, namun hasil panen padi tidak mencukupi untuk dimakan. Penyebabnya sering gagal panen akibat serangan hama tikus dan wereng. Tak jarang pula dusun saya mengalami paceklik sehingga masyarakat harus makan seadanya.
Waktu setengah empat hingga menjelang magrib saya gunakan untuk mengambil air bersih dan memenuhi bak mandi seperti aktivitas di pagi hari. Selepas magrib, Bapak sudah bersiap di meja belajar membimbing saya belajar. Bapak paling keras mengajarkan matematika. Bapak mengatakan yen kowe pinter matematika, kowe ora bakal diapusi uwong (kalau kamu pandai matematika, kamu tidak akan ditipu orang). Saya sering menangis karena kerasnya Bapak mengajar. Saat kondisi itulah, Ibu muncul sebagai pahlawan yang membela dan menenangkan hati saya. Memang efek positif yang saya terima dari bimbingan Bapak. Semenjak kelas tiga SD hingga kelas tiga SMP, saya selalu menduduki rangking satu di kelas. Saat penerimaan siswa SMA pun, saya berhasil masuk sekolah paling favorit di Karesidenan Surakarta pada saat itu.
Rasa lelah, capek, kehilangan kebahagiaan masa anak-anak, penderitaan hidup yang saya rasakan hingga kelas tiga SMP adalah pengorbanan luar biasa yang telah saya lalui. Mengapa hanya sampai SMP, karena semenjak SMA hingga menikah saya selalu berada di perantauan. Nenek To dan Nenek Emo, saksi hidup atas apa yang saya alami, selalu meneteskan air mata saat bertemu dengan saya hingga sekarang. Mereka tidak pernah membayangkan saya mampu bertahan hingga bisa menjadi seperti sekarang. Mereka begitu terharu dan berulang kali mengatakan bocah ki yen manut bakal nemoni dalan padhang uripe (anak kalau penurut akan menemukan jalan sukses hidupnya).
Semua yang saya rasakan dahulu tak satupun yang menumbuhkan rasa dendam. Saya begitu hormat dengan Bapak yang kini sudah memasuki 74 tahun dan Ibu yang sudah memasuki usia 70 tahun. Selalu tersemat senyum kebanggaan saat melihat anak-anaknya telah berhasil berkat tempaan didikan mereka. Tak jarang Bapak bercerita saat bertemu dengan teman-teman sebayanya sering ditanya piye carane anak-anakmu iso sukses kabeh (bagaimana caranya anak-anakmu dapat sukses semua). Saya merasakan manfaat yang mendalam dari apa yang mereka ajarkan pada masa lalu.
Kini kehidupan di dusun kelahiran saya sudah berubah drastis ibarat membalik dunia. Sejak masuknya listrik tahun 1994 dan pengerasan jalan tahun 2000, dusun saya mulai mengalami modernisasi. Kondisi sosial ekonomi naik strata dari miskin menjadi menengah ke atas. Masyarakat banyak yang merantau baik di dalam maupun luar negeri serta bekerja di sektor formal. Mulai banyak anak yang mengenyam jenjang perguruan tinggi. Tahun 2010 boleh dibilang sebagai tahun keemasan, karena Pemerintah Kabupaten Karanganyar membuka akses jalan tembus yang menghubungkan dua Kecamatan berbatasan, sehingga jalur transportasi semakin ramai menuju lokasi wisata di Lereng Utara Gunung Lawu.
Kondisi memang telah berubah drastis. Gaya mendidik maupun pengalaman hidup yang dulu saya alami mungkin tidak lagi dijumpai oleh anak-anak di dusun saya sekarang. Namun saya menaruh harapan besar bahwa apapun gayanya, menempa mental baja pada anak merupakan sesuatu yang harus terus ditanamkan. Anak-anak pada masa mendatang akan menghadapi kondisi kehidupan yang lebih keras dari apa yang saya alami dahulu.
Setelah meresapi dan merenungi masa lalu, saya banyak mendapat hikmah. Hikmah yang saya petik dari pengalaman ini bahwa jangan pernah menyerah dengan keadaan. Justru dengan bertahan dalam penderitaan akan menempa mental petarung dalam mengarungi hidup. Hidup ini keras seperti besi maka hadapilah dengan mental sekeras baja. Karenanya teruslah belajar dan belajar dari pengalaman hidup yang kita jalani. 

Lereng Lawu, 25 Agustus 2020.

Profil Penulis


Eko Daryono, S.Kom lahir di Karanganyar, 20 Desember 1975. Profesi sebagai guru TIK di SMP Negeri 3 Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Mulai menulis sejak tahun 1999 dan ngeBlog mulai tahun 2013. Banyak menulis buku tentang sejarah nasional, budaya lokal, karya ilmiah bidang pendidikan, jurnal dan buku antologi. No HP/WA: 088220032204, email: masdaryono1275@gmail.com, blog: maseko1275.blogspot.com, facebook: Eko Daryono, instagram: masdaryono1275, twitter : @Maseko06550776