Kamis, 23 September 2021

Generasi Covid-19 Menjawab Tantangan

Mendengar nama Covid-19 memang membuat nyali ciut. Betapa tidak, makhluk yang masuk kategori nano virus itu telah menghancurkan nyaris setengah tatanan dunia. Senjata canggih tanpa makna. Jutaan tentara tak berdaya. Ilmuwan dipaksa kerja ekstra. Yang jenius dibuat merana. Adidaya dan adikuasa pun bertekuk lutut. Puluhan juta telah terpapar dan jutaan lainnya tak mampu bertahan. Mereka yang bertahan terpaksa kehilangan  pekerjaan. Mereka yang tak terpapar harus berjuang menumpas rasa lapar. Mereka bahkan menderita kehilangan anggota keluarga.

Kondisi santer dalam pemberitaan ibarat pengiring ninabobo. Setiap hari tersaji informasi jumlah yang positif, sembuh maupun meninggal. Angka kejadian dan tingkat hunian rumah sakit meningkat signifikan. Was-was. Khawatir. Gelisah. Perasaan yang menghantui setiap waktu. Nyaris semua sektor terdampak. Interaksi sosial, aktivitas spiritual, gerak nadi ekonomi, administrasi perkantoran, mobilitas masyarakat, serta detak jantung pendidikan menjadi abnormal.

 Pemerintah lintang pukang. Penerapan lockdown ibarat pepatah, “dimakan bapak mati tak dimakan ibu mati”. Akhirnya pembatasan sosial berskala besar, mikro hingga darurat diterapkan. Himbauan 3M pun menggema setiap saat. Cuci tangan. Pakai masker. Jaga jarak. Sederet kata yang bisa dibaca di tempat-tempat strategis dari ujung kampung hingga pencakar langit. Jelek kah? Justru keadaan itu mampu membangun komunitas sehat secara global. Tak sebatas menyelamatkan diri dari sang virus, tapi dalam jangka panjang untuk menjaga imun dan tentunya juga memperpanjang harapan hidup. Hah!!! Oh iya... demi imun juga ya....

Kepedulian warga menjaga kesehatan juga meningkat drastis. Jika sebelum Pandemi hanya asal-asalan menjaga tubuh, kini mengkonsumsi multivitamin seolah jadi fokus utama. Di samping itu, banyak yang mulai menyadari nikmat yang bernama imunitas. Nikmat yang selama ini melekat dan menjaga tubuh tetap bugar. Nikmat yang sangat dekat tapi diabaikan.

Kebijakan yang ditempuh mulah berbuah hasil. Perlahan namun pasti, lonjakan kasus dapat ditekan. Namun, kapankah semua ini akan berakhir? Sanggupkah pemerintah menanggung semuanya? Sanggupkah masyarakat bertahan dalam kondisi pandemi? Jawabnya masih tersimpan rapi di langit ketujuh. Semua masih menunggu. Semua masih berharap. Hanya berpasrah diri bukanlah pilihan bijak. Berjuang adalah kata penghibur untuk terus merajut asa di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir.

Seperti umumnya umat manusia di dunia, aku juga merasakan dampak Covid-19. Tak terbayangkan memang saat bulan Desember 2019. Covid-19 yang saat itu bernama Corona, berada nun jauh di sana, Wuhan. Februari 2020, sekolah sudah mempersiapkan acara ceremony pelepasan. Bahan kebaya bagi siswa putri pun sudah dipersiapkan warna dan modelnya. Aku merengek untuk menjahitkan kebaya di butik langganan mama. Sesi pemotretan untuk buku kenangan juga usai dilaksanakan.

Saat Maret 2020 menjelang, ujian akhir sekolah dilaksanakan. Begitu usai, seolah aku dan teman-teman sudah melepaskan separuh beban. Plooonggg… UNBK nyaris sudah terabaikan karena tak lagi menentukan. Aku bersiap untuk menggapai status baru sebagai “mahasiswa”. Anak kuliahan.  Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) menjadi tembok penghalang yang harus diruntuhkan.

Namun, rencana tinggalah rencana. Pertengahan Maret 2020 mengawali petaka. Sebagai siswa tingkat akhir, aku harus mengubur banyak kenangan di penghujung masa yang disebut “sekolah”. Rencana upacara pelepasan dan pelaksanaan UNBK sirna begitu saja. Padahal aku nyaris menjadi bagian dari generasi sejarah. Generasi terakhir yang melaksanakan UNBK. Sedih. Marah. Seribu rasa lainnya mengaduk emosi. Nasib kelanjutan untuk naik kasta pun tak jelas. SBMPTN yang ada di depan mata tampak samar.

Hari-hari semenjak kebijakan belajar dari rumah, terasa menegangkan. Meski UNBK dihapuskan lebih cepat, namun tidak dengan SBMPTN. Galau menyelimuti asa menembus perguruan tinggi negeri impian. Sekolah tak bisa lagi memberi jam tambahan. Lembaga bimbingan pun terpaksa harus daring. Tak ada lagi teman yang bisa diajak curhat. Semua galau dengan nasibnya sendiri. Kecemasan melanda saat harus belajar sendiri tanpa bimbingan.

Tumpukan buku soal latihan SBMPTN yang nyaris semeter semakin membuat pusing kepala. Aku bingung harus berbuat apa.

Bertanya pada ayah dijawab, “Tanya sama mBah Google.”

Bertanya pada mama dijawab, “Mama ndak pernah kuliah. Tanya saja sama ayahmu.”

Bertanya pada kakak alumni dijawab, “Pelajari saja Dhek buku-buku latihan soal. Mirip kok pola soalnya.” Pusing…pusing… pusiiiiiiiinggggg……!!!

“Aku harus bisa! Aku harus berhasil! Aku optimis bisa menembus PTN impianku!”, teriakan hati ini yang selalu memberi spirit. Aku teringat pesan ayah, “Cah Ayu, bapakmu dulu tidak ada yang membimbing, Toh, bisa kuliah juga meski di luar negeri.” Kata itu terngiang begitu nyaring. Ya…aku harus belajar mandiri! April 2020 aku belajar dengan dipandu kakak-kakak dari bimbel maupun kakak alumni secara daring. Sesekali aku juga bertanya Pak Dismas, wali kelas yang super smart. Aku tak bisa berbohong akan beban psikis yang begitu berat. Diterima atau tidak diterima.

Di sela-sela belajar, aku mulai menentukan kampus sasaran. Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ayah memang menyarankan agar memilih kampus favorit dan membidik jurusan yang punya peluang kerja tinggi, Maklumlah, aku anak pertama yang jadi teladan. Awalnya, Ayah dan Mama mendorongku masuk Fakultas Kedokteran. Namun aku kurang percaya diri masuk di fakultas tersebut.  Setelah berbicara dengan teman, mentor bimbel, wali kelas dan Ayah, akhirnya aku memutuskan mengambil jurusan hukum.  Meski anak IPA, aku beranikan diri untuk lintas jurusan.

Aku mendaftarkan diri melalui jalur SBMPTN dan jalur Ujian Mandiri. Khusus jurusan hukum SBMPTN aku mengambil pilihan pertama di UGM dan pilihan kedua di UNS. Adapun ujian mandiri mengambil selain jurusan hukum di Universitas Diponegoro Semarang dan Universitas Negeri Yogyakarta. Sebagai cadangan, aku juga telah lolos seleksi dan diterima di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Waktu berlalu begitu cepat. Di tengah hiruk pikuk Covid-19, aku berperang di “Padang Kurusetra” yang bernama SBMPTN. Juli 2021 menjadi saksi sejarah saat aku harus mengikuti ujian online di Laboratorium Komputer Gedung III UNS. Kondisi fisik yang terkuras, nyaris menggagalkan usahaku. Suhu badan tinggi sempat membuat khawatir untuk melewati pemindai suhu. Hingga akhirnya aku dapat lolos mengikuti seleksi.

Setelah mengikuti ujian, bukan tenang dirasa. Perasaanku semakin was-was dan tertekan. Membayangkan antara diterima dan tidak diterima. Tak mau terbenam dalam kegalauan, aku bersiap menghadapi medan pertarungan berikutnya. Seleksi Sekolah Tinggi Ilmu Statistik di Badan Kepegawaian Negara Semarang. Aku sebenarnya tak begitu tertarik. Mengapa? Matematika. Yah… namanya statistik… pasti tak luput dari matematika.

Didorong keinginan untuk menunjukkan seberapa berhasil dalam belajar, aku pun mengikutinya. Hasilnya? Aku lolos seleksi tahap pertama dengan nilai nyaris 400. Namun, aku terhenti pada tahap kedua jurusan S1 Statistik. Seandainya memilih jurusan D3, aku sudah jadi calon pegawai negeri karena yang lolos seleksi kurang dari kuota. Kecewa? Sangat tidak kecewa. Sebaliknya, aku sangat bangga karena telah menunjukkan bahwa aku bisa dan berhasil meraih nilai lebih baik dari teman-teman sekolah.

Bergeser ke Solo, aku mengikuti seleksi Ujian Mandiri (UM) masuk UGM, UNS, UNDIP dan UNY. Tujuannya sebagai cadangan PTN jika saringan lewat SBMPTN tak berhasil. Seleksi UM UGM, UNDIP dan UNY cukup mudah karena hanya menggunakan nilai raport, sedangkan UNS harus tes online dari rumah. Menilik deretan nilai raport, rasa pesimis pun menyelimuti. Secara paralel, nilaiku untuk enam mata pelajaran prioritas memang hanya di range  tengah. Namun jika melihat peta kekuatan pada jurusan yang kupilih, rasa optimispun bergelora. Aku mengambil jurusan Fisika di UGM dan UNY, Farmasi di UNDIP dan Manajemen di UNS.

Akhirnya hari yang dinanti menjelang. 14 Agustus 2020. Bertepatan dengan hari Pramuka. Hari yang menjadi saksi sejarah aku berhasil menggapai kampus impian atau tidak. Jarum jam nampak malas berdetak. Waktu terasa begitu menyiksa. Bulir air mata mulai menetes bak gerimis. Tak pernah hati setakut ini. Seolah sedang menghadapi malaikat maut.  Tak kuat raga membuka laptop. Phobia menjadi-jadi saat melihat layar komputer kerj Ayah. Sambil menahan isak tangis, aku berkata, “Yah…Ayah….aku tak sanggup…” Mama yang sejak pagi juga terlihat khawatir, berusaha menenangkan diriku.

Menjelang waktu asar, air mata mengalir bak aliran sungai  Kapuas. Dag…dig…dug…dag…dig…dug…semakin tak beraturan.

“Ayah!!! Mama!!! Maafkan Shinta jika tak diterima ya!!!”, aku berteriak kencang dengan tenaga yang tersisa.

“Tenang, nDuk. PTN bukan segala-galanya. Ayahmu dulu juga tak lolos PTN. Rejeki sudah diatur sama Allah” kata Mama yang tetap saja tak bisa menghentikan tangisanku.

“Ayah mana, Ma? Biar Ayah saja yang buka!!!” tanyaku setengah berteriak.

“Sabar ya, nDuk. Ayahmu baru pergi jamaah asar. Bentar lagi juga pulang” jawab Mama lirih.

Samar-samar kudengar suara motor Ayah berhenti di halaman. Pintu depan berderit lirih seolah menyapa yang ada di dalam. Sambil menangis, sontak aku berteriak, “Ayah…!!! Ayah...!!! Gimana hasilnya, Yah…!!! Aku takut, Yah…!!!”

Sambil membuka laptop, Ayah menjawab santai, “Tenang…. tenang… Ayah yakin kamu diterima, Cah Ayu.”

Aku pergi ke kamar. Ku tutup pintu rapat-rapat. Aku tak mau melihat hasil pengumuman. Aku tak sanggup mendengar kata “tidak diterima”. Sejurus kemudian terdengar riuh di luar kamar.

“Ahamdulillah, nDuk! Kamu diterima di UNS! Alhamdulillah…!!! Terima kasih, ya Allah!”  teriak Mama.

Secepat kilat aku terbang ke luar kamar. “Benar, Ma??? Tidak bohong, Ma???” kataku masih belum percaya.

“Tuh lihat sendiri di website!” jawab Ayah.

Kubaca perlahan tulisan diwebsite, “SHINTA RAHMASARI Nomor Ujian XXXXXXXX Dinyatakan Diterima di Fakultas Hukum UNS”. Tangisanku pecah.

“Ya Allah!!! Terima kasih, ya Allah!!!” kuluapkan rasa bahagiaku sambil sujud syukur.

Kulihat Ayah dan Mama menangis bahagia. Aku, anak pertamanya, berhasil menjadi anak kuliahan di kampus favorit. Meski harapanku besar diterima di UGM, namun aku sangat bahagia lolos SBMPTN. Sesuai harapan Ayah dan Mama agar aku kuliah tidak jauh dari mereka.

Selepas magrib, grup Whatsapp pun heboh dengan tagar #hasilSBMPTN #lolosSBMPTN #gagalSBMPTN. Satu per satu kuhubungi sahabat dekat. Hatiku sedih saat mendapati jawaban “Shin, Aku belum diterima.” Kejutan demi kejutan bermunculan di chat WA. Deretan siswa yang masuk 10 besar, banyak yang gagal menembus SBMPTN. Mereka yang hanya dipandang sebelah mata, justru banyak yang lolos, Termasuk diriku tentunya. Kelasku yang termarginalkan mendadak heboh. 21 dari 36 siswa berhasil lolos SBMPTN! Pak Dismas yang selama ini ketus saat di kelas, menulis chat yang mengharukan. “Selamat ya anak-anakku. Kalian buat Bapak bangga. Tak sia-sia selama ini Bapak keras terhadap kalian. Bagi yang belum lolos, tunggu saja saatnya. Masih ada UM yang menanti kalian.”

Selepas saling menghibur dan berucap selamat, kini saatnya menatap langkah mengarungi medan baru yang disebut KAMPUS. Tak sia-sia selama ini aku merengek minta dibelikan buku. Bimbel Online. Karantina belajar mandiri. Membuang kesempatan bersenang-senang. Akhirnya, cita-citaku menembus kampus dan jurusan favorit tercapai. Aku mampu menjawab semua sinisme. Maklum, label “lulusan Covid-19”, “Generasi Pandemi”, begitu lekat tersemat. Kami yang lulus saat pandemi dianggap tak punya kompetensi. Kini terjawab sudah. Meski lulusan pandemi, kami mampu menerjemahkan tuntutan sekolah dengan baik. Lulusan pandemi yang punya kualitas dan integritas!

Jaket almamater sekarang sudah tersemat. Tak sekedar diterima di Fakultas Hukum, aku juga berhasil menjadi Sekretaris Dewan Mahasiswa UNS (DEMA UNS). Organisasi yang mengontrol kebijakan kampus. Keren bukan? Semua kebanggaan yang harus aku jawab dengan sesegera mungkin wisuda. Tak sabar ingin membahagiakan kedua orang tua dan kedua adikku.

Ternyata, pandemi Covijd-19 membawa hikmah. Meski selama ini kuanggap lawan, ternyata aku pun berkawan dengannya. Berkat Covid-19, aku lebih memahami apa arti mensyukuri. Bukan hanya soal materi, namun juga non materi.  Covid-19 mengajariku bagaimana cara bertahan hidup. Menempa mentalku sekuat baja. Membakar semangatku bak tungku perapian. Membuat hatiku teguh bak batu karang. Covid-19 mengajariku untuk peduli dengan sesama. rasa saling menjaga. makna saling berbagi. hai covid-19! kami berterima kasih atas jasa-jasamu. namun, kami tetap ingin engkau segera meninggalkan kami.

Surakarta, 10 Maret 2021


PROFIL PENULIS


Shinta Rahmasari, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Putri dari Bapak Daryono dan Ibu Patmini yang lahir di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2001.

Pernah mengenyam pendidikan dasar di SDIT Insan Kamil Karanganyar (2008-2014), pendidikan menengah di SMP Negeri 2 Karanganyar (2014-2017) dan SMA Negeri 1 Karanganyar (2017-2020). Saat ini masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta pada semester III.

Aktif dalam berbagai organisasi semenjak duduk di SMP yakni menjadi jurnalis majalah sekolah dan paduan suara Saat SMA menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Sekolah (MPS) dan Forum Siswa Islam Karanganyar. Saat ini aktif sebagai anggota IMAKA (Ikatan Mahasiswa Karanganyar, pengurus FOSMI UNS (Forum Mahasiswa Islam) dan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa (DEMA UNS) periode 2019-2024.

Hobi menyanyi. Aktivitas yang aktif ditekuni saat ini adalah membaca, menulis dan design grafis sebagai bagian dari tugas kemahasiswaan dan keorganisasian. Travelling adalah aktivitas yang biasa dilakukan setiap akhir pekan bersama keluarga tercinta.