Sabtu, 26 Februari 2022

ENAK WFO ATAU WFH?

ENAK WFO ATAU WFH?

 

Seberkas tanya yang menggelitik namun punya berjuta jawaban. Yah, Covid-19 memaksa sebagian pekerjaan dikerjakan dari rumah atau dikenal dengan istilah WFH (Work From Home). Untuk menjawab pertanyaan tersebut, setidaknya perlu diidentifikasi beberapa hal, yakni:

1.      Beban Pekerjaan

2.      Beban Amalan

WFH dan WFO dari Aspek Beban Kerja

Dua hal tersebut yang akan menjadi pembeda jawaban antara enak WFH atau WFO. Ditilik dari beban pekerjaan utama, sebenarnya WFO dan WFH tidak ada perbedaannya karena sama-sama pekerjaan kantor yang dikerjakan dari rumah harus selesai sesuai target. Ditilik dari beban pekerjaan tambahan, WFH lebih berat dari WFO. Mengapa demikian? Ada 3 kategori partisipasi orang kantoran terhadap kegiatan rumah:

Kriteria 1, Aktif kantoran namun pasif mengurus rumah karena ada asisten rumah tangga

Kriteria 2, Aktif kantoran namun masa bodoh dengan urusan rumah

Kriteria 3, Aktif kantoran sekaligus aktif mengurus rumah

Kriteria 1 dan 2, jelas no problem. Saat WFH mereka tenang dan hanya mengurusi pekerjaan kantor dari rumah. WFH menjadi pilihan enak bagi orang kriteria 1 dan 2 karena tidak perlu keluar rumah untuk menyelesaikan urusan kantornya sembari bisa bersantai dan tak terikat jam kerja. Main game, tik tok-an, atau bermedsos ria menjadi pengisi waktu luang.

Kriteria 3, jelas menjadi problem besar. Saat WFH mereka harus membagi waktu untuk menyelesaikan urusan rumah. Kadang kriteria ini menyelesaikan urusan rumah seperti menyapu, mencuci, menyeterika, menata rumah hingga mengasuh anak, sebelum menyelesaikan pekerjaan kantornya. Artinya bagi kriteria 3 ini justru beban pekerjaan berlipat ganda dibandingkan saat mereka WFO. Bahkan kesempatan mereka istirahat relatif lebih sedikit dibandingkan saat WFO. Beban itupun kadang bertambah saat orang rumahan pulang dari kantor membawa masalahnya di kantor ke rumah. Atau justru mendengar omelan orang rumahan yang pulang dari kantor karena rumahnya terlihat belum rapi atau terkadang berantakan. Padahal orang kriteria 3 ini kadang sedikit istirahatnya dibandingkan dengan mereka yang WFO.

WFH dan WFO dari Aspek Beban Amalan

Pahala bagi kriteria 3 berlipat ganda dibandingkan dengan kriteria 1 dan 2 jika ikhlas dan sabar menjalani. Setiap salat kita berikrar dengan salah satu firman Allah dalam QS Al An’am ayat 162: Sesungguhnya sholatku, ibadah (sembelihan) ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Mengacu pada ayat tersebut jelas, porsi aktivitas hidup manusia lebih banyak waktunya dibandingkan dengan aktivitas lainnya. Jika ditelisik, berapa lama waktu yang kita habiskan untuk sholat setiap harinya? Bisa jadi tidak lebih dari 1 jam dari 24 jam waktu yang tersedia. Nusuk atau ibadah dengan sembelihan atau qurban pun hanya dilaksanakan setahun sekali saat idul adha. Demikian pun dengan kematian yang juga datang hanya sesaat. Aktivitas hidup justru menjadi manifestasi terbesar bagi manusia untuk mengumpulkan pahala. Jadi, tidak seharusnya manusia mengeluh melaksanakan aktivitas hidupnya di luar sholat dan nusuk, karena hakikatnya dari situlah manusia mengumpulkan amal kebaikan. Aneh kiranya, jika manusia mengeluh melakukan rutinitas hariannya seperti membersihkan rumah, mencuci, mengepel, memasak, menyeterika, menyapu, mengasuh anak, antar jemput anak atau merawat diri sendiri. Dikeluhkan atau tidak, ikhlas atau tidak toh semua itu harus dikerjakan. Tinggal memilih ingin yang berbobot pahala atau tanpa mendapat pahala apapun.

Kesimpulannya, WFO atau WFH adalah ketetapan Allah yang dianugerahkan melalui pemikiran manusia. Jika Allah tak menuliskan di lauhmahfuz terjadinya pandemi Covid-19, bisa saja tidak terbersit untuk membuat WFH ataupun WFO. Langkah bijaknya adalah :

1. 1.     Syukuri apa yang dianugerahkan Allah

1. 2Jalani semua ketetapan-Nya dengan sabar dan ikhlas

   3. Mereka yang WFO menghormati yang WFH karena ternyata beban WFH itu berlipat ganda (khusus bagi kriteria 3)

 

JANGAN MEMANJAKAN DIRI DENGAN MUDAH MENGELUH KARENA SEMUA YANG TERJADI SUDAH MENJADI KEHENDAK DAN KETETAPAN YANG MAHA BERKEHENDAK, ALLAH SWT

Selasa, 16 November 2021

Profil

 



MY PROFIL

 

Eko Daryono, S.Kom. Anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir di Karanganyar Provinsi Jawa Tengah tanggal 20 Desember 1975. 

Keluarga

Menikah dengan Patmini, A.Md.Kep. dan telah dikarunia tiga orang anak yakni: 

  • Shinta Rahmasari (Mahasiswa)
  • Ridho Aryo Ramadhan (Pelajar SMA)
  • Kalila Assyabiya Arafah (Pelajar MI).

Jenjang Pendidikan 

  • SD Negeri 4 Karangrejo (1988)
  • SMP Negeri 1 Kerjo (1991)
  • SMA Negeri 1 Karanganyar (1994)
  • Diploma 1 Analis Sistem Institut Manajemen Komputer Akuntansi Surakarta (1995)
  • Strata 1 Informatika Universitas Dian Nuswantoro Semarang (1998)
  • Akta IV FKIP Universitas Slamet Riyadi Surakarta (2006) 

Karier

Profesi utama sebagai tenaga pendidik di SMP Negeri 3 Mojolaban Sukoharjo dan tersertifikasi pada mata pelajaran TIK melalui PLPG di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jabatan terakhir Ahli Madya (Pembina, IV/a). Berhasil menyelesaikan Program Guru Pengerak Angkatan 7 BBGP Provinsi Jawa Tengah sekaligus Uji Kompetensi Calon Pengawas Sekolah Kabupaten Sukoharjo tahun 2023.

Histori Pengalaman Kerja 

  • Pengajar kursus PKBM (1998-2000)
  • Tata usaha Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan (1999-2000)
  • Pengelola percetakan Prima Media (1998-2004)
  • Dewan redaksi jurnal ilmiah Cakrawala (Karanganyar), Ganeca dan Rajawali (Sukoharjo), dan Profesi (Klaten) (2010-2014)

Prestasi

  • Juara I Lomba Penulisan Karya Ilmiah Tingkat Kabupaten (2008) 
  • Juara II Lomba Guru Berprestasi Tingkat Kabupaten (2009)

Keterampilan

  • Penulis dan editor buku 
  • Narasumber diklat/seminar/workshop baik kedinasan maupun non kedinasan dalam bidang penulisan KTI maupun buku umum, motivator literasi 
  • Mentoring dalam penulisan buku dan jurnal.

Pengalaman Organisasi 

  • Ketua Takmir Masjid Jami Baiturrahim (2005-2021) 
  • Divisi Hubungan Internasional MGMP TIK (2016-2018) 
  • Pengurus Pusat AGUPENA Bidang Pendidikan Pelatihan Penulisan periode 2021-2026. 
  • Menulis sejak tahun 1999 
  • Nge-Blog sejak tahun 2013. 

Pengalaman sebagai Narasumber Menulis via Wa Group sebelumnya

  • Kelas Menulis Buku Inspirasi (NTT)
  • Kelas Penulis Cilik Surabaya
  • Kelas Menulis Rumah Produktif Indonesia (NTT)
  • Kelas Menulis GEMA AGUPENA
  • Kelas Menulis Writing Is My Passion - PMA Istikhamah 

Karya-karya yang telah ditulis baik solo maupun antologi

Kesejarahan (14 buku)

  • Perkembangan Hindu di Lereng Lawu Periode 1967 – 1999
  • Strategi Perang Diponegoro Ditinjau dari Sejarah Kemiliteran
  • Politik Kolonial Belanda Abad XIX – XX (Kajian Analisis Historis)
  • Ketahanan Nasional Masa Majapahit
  • Pertumbuhan dan Perkembangan Pemerintah Daerah Karanganyar Tahun 1917-1946 
  • Perjuangan Nyi Ageng Serang : Relevansi Bagi Emansipasi Wanita di Era Globalisasi 
  • Perang Padri (1803 - 1837) : Suatu Kajian Sosial, Politik, Ekonomi dan Budaya
  • Candi Sukuh : Tinjauan Sosial Budaya
  • Cut Nyak Dien dan Citra Perempuan Indonesia
  • Dewi Sartika : Potret Perjuangan Meningkatkan Sumber Daya Perempuan Melalui Dunia Pendidikan
  • Politik Pemerintahan Kertanegara di Singasari
  • Brigade Mobil Kompi I Batalyon C Gunung Kendil : Sejarah Dan Pengabdiannya 
  • Situs Watu Kandang dan Alam Pikiran Masyarakat Pendukungnya
  • Perkembangan Perdagangan Nasional Pada Jaman VOC

Traveling (2 buku)

  • Eksotisme Kesejarahan Candi Cetho
  • Makam Mangadeg - Matesih 
Budaya Lokal (10 buku)
  • Makna di Balik Tradisi Padusan
  • Upacara Ya Qowiyu di Kecamatan Jatinom
  • Tradisi Rasulan
  • Sakralisme Bulan Suro
  • Tedak Siten dan Kesiapan Menyambut Kehidupan
  • Tradisi Metik dan Konsepsi Dewi Kesuburan
  • Tradisi Bersih Desa dan Alam Pikiran yang Melandasi
  • Ritus Peringatan Kematian dalam Pandangan Masyarakat Kejawen
  • Tradisi Ceprotan : Tinjauan Aspek Semangat Kerja dan Pandangan Hidup
  • Asok Tukon dan Manifestasinya Sebagai Tanda Ikatan Antar Keluarga Calon Pengantin 

Penelitian Ilmiah (2 Karya)

  • Penerapan Strategi Pembelajaran Kooperatif Tipe Every One Is Teacher Dalam Peningkatan Motivasi dan Hasil Belajar TIK
  • Peningkatan Aktivitas Belajar dan Hasil Belajar TIK dengan Penerapan Strategi Tim Quiz

Antologi

  • Pena Digital Guru Milenial
  • Kobaran Semangat NgeBlog
  • Berbagi Kisah Inspirasi Menuju Sukses
  • Panduan Belajar Menulis Writing is My Passion 

Korespondensi melalui 

  • Whatsapp 088220032204
  • e-mail : masdaryono1275@gmail.com
  • blog: maseko1275.blogspot.com
  • Facebook: ekodaryono
  • Instagram : masdaryono1275 
  • Twitter : @Maseko06550776

Kamis, 23 September 2021

Generasi Covid-19 Menjawab Tantangan

Mendengar nama Covid-19 memang membuat nyali ciut. Betapa tidak, makhluk yang masuk kategori nano virus itu telah menghancurkan nyaris setengah tatanan dunia. Senjata canggih tanpa makna. Jutaan tentara tak berdaya. Ilmuwan dipaksa kerja ekstra. Yang jenius dibuat merana. Adidaya dan adikuasa pun bertekuk lutut. Puluhan juta telah terpapar dan jutaan lainnya tak mampu bertahan. Mereka yang bertahan terpaksa kehilangan  pekerjaan. Mereka yang tak terpapar harus berjuang menumpas rasa lapar. Mereka bahkan menderita kehilangan anggota keluarga.

Kondisi santer dalam pemberitaan ibarat pengiring ninabobo. Setiap hari tersaji informasi jumlah yang positif, sembuh maupun meninggal. Angka kejadian dan tingkat hunian rumah sakit meningkat signifikan. Was-was. Khawatir. Gelisah. Perasaan yang menghantui setiap waktu. Nyaris semua sektor terdampak. Interaksi sosial, aktivitas spiritual, gerak nadi ekonomi, administrasi perkantoran, mobilitas masyarakat, serta detak jantung pendidikan menjadi abnormal.

 Pemerintah lintang pukang. Penerapan lockdown ibarat pepatah, “dimakan bapak mati tak dimakan ibu mati”. Akhirnya pembatasan sosial berskala besar, mikro hingga darurat diterapkan. Himbauan 3M pun menggema setiap saat. Cuci tangan. Pakai masker. Jaga jarak. Sederet kata yang bisa dibaca di tempat-tempat strategis dari ujung kampung hingga pencakar langit. Jelek kah? Justru keadaan itu mampu membangun komunitas sehat secara global. Tak sebatas menyelamatkan diri dari sang virus, tapi dalam jangka panjang untuk menjaga imun dan tentunya juga memperpanjang harapan hidup. Hah!!! Oh iya... demi imun juga ya....

Kepedulian warga menjaga kesehatan juga meningkat drastis. Jika sebelum Pandemi hanya asal-asalan menjaga tubuh, kini mengkonsumsi multivitamin seolah jadi fokus utama. Di samping itu, banyak yang mulai menyadari nikmat yang bernama imunitas. Nikmat yang selama ini melekat dan menjaga tubuh tetap bugar. Nikmat yang sangat dekat tapi diabaikan.

Kebijakan yang ditempuh mulah berbuah hasil. Perlahan namun pasti, lonjakan kasus dapat ditekan. Namun, kapankah semua ini akan berakhir? Sanggupkah pemerintah menanggung semuanya? Sanggupkah masyarakat bertahan dalam kondisi pandemi? Jawabnya masih tersimpan rapi di langit ketujuh. Semua masih menunggu. Semua masih berharap. Hanya berpasrah diri bukanlah pilihan bijak. Berjuang adalah kata penghibur untuk terus merajut asa di tengah ketidakpastian kapan pandemi berakhir.

Seperti umumnya umat manusia di dunia, aku juga merasakan dampak Covid-19. Tak terbayangkan memang saat bulan Desember 2019. Covid-19 yang saat itu bernama Corona, berada nun jauh di sana, Wuhan. Februari 2020, sekolah sudah mempersiapkan acara ceremony pelepasan. Bahan kebaya bagi siswa putri pun sudah dipersiapkan warna dan modelnya. Aku merengek untuk menjahitkan kebaya di butik langganan mama. Sesi pemotretan untuk buku kenangan juga usai dilaksanakan.

Saat Maret 2020 menjelang, ujian akhir sekolah dilaksanakan. Begitu usai, seolah aku dan teman-teman sudah melepaskan separuh beban. Plooonggg… UNBK nyaris sudah terabaikan karena tak lagi menentukan. Aku bersiap untuk menggapai status baru sebagai “mahasiswa”. Anak kuliahan.  Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) menjadi tembok penghalang yang harus diruntuhkan.

Namun, rencana tinggalah rencana. Pertengahan Maret 2020 mengawali petaka. Sebagai siswa tingkat akhir, aku harus mengubur banyak kenangan di penghujung masa yang disebut “sekolah”. Rencana upacara pelepasan dan pelaksanaan UNBK sirna begitu saja. Padahal aku nyaris menjadi bagian dari generasi sejarah. Generasi terakhir yang melaksanakan UNBK. Sedih. Marah. Seribu rasa lainnya mengaduk emosi. Nasib kelanjutan untuk naik kasta pun tak jelas. SBMPTN yang ada di depan mata tampak samar.

Hari-hari semenjak kebijakan belajar dari rumah, terasa menegangkan. Meski UNBK dihapuskan lebih cepat, namun tidak dengan SBMPTN. Galau menyelimuti asa menembus perguruan tinggi negeri impian. Sekolah tak bisa lagi memberi jam tambahan. Lembaga bimbingan pun terpaksa harus daring. Tak ada lagi teman yang bisa diajak curhat. Semua galau dengan nasibnya sendiri. Kecemasan melanda saat harus belajar sendiri tanpa bimbingan.

Tumpukan buku soal latihan SBMPTN yang nyaris semeter semakin membuat pusing kepala. Aku bingung harus berbuat apa.

Bertanya pada ayah dijawab, “Tanya sama mBah Google.”

Bertanya pada mama dijawab, “Mama ndak pernah kuliah. Tanya saja sama ayahmu.”

Bertanya pada kakak alumni dijawab, “Pelajari saja Dhek buku-buku latihan soal. Mirip kok pola soalnya.” Pusing…pusing… pusiiiiiiiinggggg……!!!

“Aku harus bisa! Aku harus berhasil! Aku optimis bisa menembus PTN impianku!”, teriakan hati ini yang selalu memberi spirit. Aku teringat pesan ayah, “Cah Ayu, bapakmu dulu tidak ada yang membimbing, Toh, bisa kuliah juga meski di luar negeri.” Kata itu terngiang begitu nyaring. Ya…aku harus belajar mandiri! April 2020 aku belajar dengan dipandu kakak-kakak dari bimbel maupun kakak alumni secara daring. Sesekali aku juga bertanya Pak Dismas, wali kelas yang super smart. Aku tak bisa berbohong akan beban psikis yang begitu berat. Diterima atau tidak diterima.

Di sela-sela belajar, aku mulai menentukan kampus sasaran. Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ayah memang menyarankan agar memilih kampus favorit dan membidik jurusan yang punya peluang kerja tinggi, Maklumlah, aku anak pertama yang jadi teladan. Awalnya, Ayah dan Mama mendorongku masuk Fakultas Kedokteran. Namun aku kurang percaya diri masuk di fakultas tersebut.  Setelah berbicara dengan teman, mentor bimbel, wali kelas dan Ayah, akhirnya aku memutuskan mengambil jurusan hukum.  Meski anak IPA, aku beranikan diri untuk lintas jurusan.

Aku mendaftarkan diri melalui jalur SBMPTN dan jalur Ujian Mandiri. Khusus jurusan hukum SBMPTN aku mengambil pilihan pertama di UGM dan pilihan kedua di UNS. Adapun ujian mandiri mengambil selain jurusan hukum di Universitas Diponegoro Semarang dan Universitas Negeri Yogyakarta. Sebagai cadangan, aku juga telah lolos seleksi dan diterima di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Waktu berlalu begitu cepat. Di tengah hiruk pikuk Covid-19, aku berperang di “Padang Kurusetra” yang bernama SBMPTN. Juli 2021 menjadi saksi sejarah saat aku harus mengikuti ujian online di Laboratorium Komputer Gedung III UNS. Kondisi fisik yang terkuras, nyaris menggagalkan usahaku. Suhu badan tinggi sempat membuat khawatir untuk melewati pemindai suhu. Hingga akhirnya aku dapat lolos mengikuti seleksi.

Setelah mengikuti ujian, bukan tenang dirasa. Perasaanku semakin was-was dan tertekan. Membayangkan antara diterima dan tidak diterima. Tak mau terbenam dalam kegalauan, aku bersiap menghadapi medan pertarungan berikutnya. Seleksi Sekolah Tinggi Ilmu Statistik di Badan Kepegawaian Negara Semarang. Aku sebenarnya tak begitu tertarik. Mengapa? Matematika. Yah… namanya statistik… pasti tak luput dari matematika.

Didorong keinginan untuk menunjukkan seberapa berhasil dalam belajar, aku pun mengikutinya. Hasilnya? Aku lolos seleksi tahap pertama dengan nilai nyaris 400. Namun, aku terhenti pada tahap kedua jurusan S1 Statistik. Seandainya memilih jurusan D3, aku sudah jadi calon pegawai negeri karena yang lolos seleksi kurang dari kuota. Kecewa? Sangat tidak kecewa. Sebaliknya, aku sangat bangga karena telah menunjukkan bahwa aku bisa dan berhasil meraih nilai lebih baik dari teman-teman sekolah.

Bergeser ke Solo, aku mengikuti seleksi Ujian Mandiri (UM) masuk UGM, UNS, UNDIP dan UNY. Tujuannya sebagai cadangan PTN jika saringan lewat SBMPTN tak berhasil. Seleksi UM UGM, UNDIP dan UNY cukup mudah karena hanya menggunakan nilai raport, sedangkan UNS harus tes online dari rumah. Menilik deretan nilai raport, rasa pesimis pun menyelimuti. Secara paralel, nilaiku untuk enam mata pelajaran prioritas memang hanya di range  tengah. Namun jika melihat peta kekuatan pada jurusan yang kupilih, rasa optimispun bergelora. Aku mengambil jurusan Fisika di UGM dan UNY, Farmasi di UNDIP dan Manajemen di UNS.

Akhirnya hari yang dinanti menjelang. 14 Agustus 2020. Bertepatan dengan hari Pramuka. Hari yang menjadi saksi sejarah aku berhasil menggapai kampus impian atau tidak. Jarum jam nampak malas berdetak. Waktu terasa begitu menyiksa. Bulir air mata mulai menetes bak gerimis. Tak pernah hati setakut ini. Seolah sedang menghadapi malaikat maut.  Tak kuat raga membuka laptop. Phobia menjadi-jadi saat melihat layar komputer kerj Ayah. Sambil menahan isak tangis, aku berkata, “Yah…Ayah….aku tak sanggup…” Mama yang sejak pagi juga terlihat khawatir, berusaha menenangkan diriku.

Menjelang waktu asar, air mata mengalir bak aliran sungai  Kapuas. Dag…dig…dug…dag…dig…dug…semakin tak beraturan.

“Ayah!!! Mama!!! Maafkan Shinta jika tak diterima ya!!!”, aku berteriak kencang dengan tenaga yang tersisa.

“Tenang, nDuk. PTN bukan segala-galanya. Ayahmu dulu juga tak lolos PTN. Rejeki sudah diatur sama Allah” kata Mama yang tetap saja tak bisa menghentikan tangisanku.

“Ayah mana, Ma? Biar Ayah saja yang buka!!!” tanyaku setengah berteriak.

“Sabar ya, nDuk. Ayahmu baru pergi jamaah asar. Bentar lagi juga pulang” jawab Mama lirih.

Samar-samar kudengar suara motor Ayah berhenti di halaman. Pintu depan berderit lirih seolah menyapa yang ada di dalam. Sambil menangis, sontak aku berteriak, “Ayah…!!! Ayah...!!! Gimana hasilnya, Yah…!!! Aku takut, Yah…!!!”

Sambil membuka laptop, Ayah menjawab santai, “Tenang…. tenang… Ayah yakin kamu diterima, Cah Ayu.”

Aku pergi ke kamar. Ku tutup pintu rapat-rapat. Aku tak mau melihat hasil pengumuman. Aku tak sanggup mendengar kata “tidak diterima”. Sejurus kemudian terdengar riuh di luar kamar.

“Ahamdulillah, nDuk! Kamu diterima di UNS! Alhamdulillah…!!! Terima kasih, ya Allah!”  teriak Mama.

Secepat kilat aku terbang ke luar kamar. “Benar, Ma??? Tidak bohong, Ma???” kataku masih belum percaya.

“Tuh lihat sendiri di website!” jawab Ayah.

Kubaca perlahan tulisan diwebsite, “SHINTA RAHMASARI Nomor Ujian XXXXXXXX Dinyatakan Diterima di Fakultas Hukum UNS”. Tangisanku pecah.

“Ya Allah!!! Terima kasih, ya Allah!!!” kuluapkan rasa bahagiaku sambil sujud syukur.

Kulihat Ayah dan Mama menangis bahagia. Aku, anak pertamanya, berhasil menjadi anak kuliahan di kampus favorit. Meski harapanku besar diterima di UGM, namun aku sangat bahagia lolos SBMPTN. Sesuai harapan Ayah dan Mama agar aku kuliah tidak jauh dari mereka.

Selepas magrib, grup Whatsapp pun heboh dengan tagar #hasilSBMPTN #lolosSBMPTN #gagalSBMPTN. Satu per satu kuhubungi sahabat dekat. Hatiku sedih saat mendapati jawaban “Shin, Aku belum diterima.” Kejutan demi kejutan bermunculan di chat WA. Deretan siswa yang masuk 10 besar, banyak yang gagal menembus SBMPTN. Mereka yang hanya dipandang sebelah mata, justru banyak yang lolos, Termasuk diriku tentunya. Kelasku yang termarginalkan mendadak heboh. 21 dari 36 siswa berhasil lolos SBMPTN! Pak Dismas yang selama ini ketus saat di kelas, menulis chat yang mengharukan. “Selamat ya anak-anakku. Kalian buat Bapak bangga. Tak sia-sia selama ini Bapak keras terhadap kalian. Bagi yang belum lolos, tunggu saja saatnya. Masih ada UM yang menanti kalian.”

Selepas saling menghibur dan berucap selamat, kini saatnya menatap langkah mengarungi medan baru yang disebut KAMPUS. Tak sia-sia selama ini aku merengek minta dibelikan buku. Bimbel Online. Karantina belajar mandiri. Membuang kesempatan bersenang-senang. Akhirnya, cita-citaku menembus kampus dan jurusan favorit tercapai. Aku mampu menjawab semua sinisme. Maklum, label “lulusan Covid-19”, “Generasi Pandemi”, begitu lekat tersemat. Kami yang lulus saat pandemi dianggap tak punya kompetensi. Kini terjawab sudah. Meski lulusan pandemi, kami mampu menerjemahkan tuntutan sekolah dengan baik. Lulusan pandemi yang punya kualitas dan integritas!

Jaket almamater sekarang sudah tersemat. Tak sekedar diterima di Fakultas Hukum, aku juga berhasil menjadi Sekretaris Dewan Mahasiswa UNS (DEMA UNS). Organisasi yang mengontrol kebijakan kampus. Keren bukan? Semua kebanggaan yang harus aku jawab dengan sesegera mungkin wisuda. Tak sabar ingin membahagiakan kedua orang tua dan kedua adikku.

Ternyata, pandemi Covijd-19 membawa hikmah. Meski selama ini kuanggap lawan, ternyata aku pun berkawan dengannya. Berkat Covid-19, aku lebih memahami apa arti mensyukuri. Bukan hanya soal materi, namun juga non materi.  Covid-19 mengajariku bagaimana cara bertahan hidup. Menempa mentalku sekuat baja. Membakar semangatku bak tungku perapian. Membuat hatiku teguh bak batu karang. Covid-19 mengajariku untuk peduli dengan sesama. rasa saling menjaga. makna saling berbagi. hai covid-19! kami berterima kasih atas jasa-jasamu. namun, kami tetap ingin engkau segera meninggalkan kami.

Surakarta, 10 Maret 2021


PROFIL PENULIS


Shinta Rahmasari, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Putri dari Bapak Daryono dan Ibu Patmini yang lahir di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2001.

Pernah mengenyam pendidikan dasar di SDIT Insan Kamil Karanganyar (2008-2014), pendidikan menengah di SMP Negeri 2 Karanganyar (2014-2017) dan SMA Negeri 1 Karanganyar (2017-2020). Saat ini masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta pada semester III.

Aktif dalam berbagai organisasi semenjak duduk di SMP yakni menjadi jurnalis majalah sekolah dan paduan suara Saat SMA menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Sekolah (MPS) dan Forum Siswa Islam Karanganyar. Saat ini aktif sebagai anggota IMAKA (Ikatan Mahasiswa Karanganyar, pengurus FOSMI UNS (Forum Mahasiswa Islam) dan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa (DEMA UNS) periode 2019-2024.

Hobi menyanyi. Aktivitas yang aktif ditekuni saat ini adalah membaca, menulis dan design grafis sebagai bagian dari tugas kemahasiswaan dan keorganisasian. Travelling adalah aktivitas yang biasa dilakukan setiap akhir pekan bersama keluarga tercinta.

Jumat, 09 Juli 2021

The Power of Penulis Surabaya

 THE POWER OF PADA SUATU HARI

BERSAMA KOMUNITAS PENULIS SURABAYA

 

Seminggu di penghujung akhir April hingga seminggu di penghujung awal Juni menjadi waktu yang paling sibuk bagi saya. Betapa tidak. Daftar kegiatan yang panjangnya seperti kereta senja harus saya jalani. Mulai dari olah nilai kelulusan, pelepasan virtual kelas IX, penilaian akhir semester, sosialisasi hingga proses penerimaan peserta didik baru secara online di tengah pandemi. Belum lagi tugas sebagai “staf ahli” dalam pengelolaan GTK di sekolah, penilaian e-kinerja pegawai, dapodik, dan sejumlah agenda online lainnya.  

Padatnya kegiatan tersebut membuat saya nyaris tak merasakan jika sedang berjuang untuk sembuh dari sakit stroke. Seolah ada energi luar biasa yang membuat tubuh saya menjelma menjadi superman. Kegiatan demi kegiatan pun tanpa terasa dapat terselesaikan dengan baik. Rasa tanggung jawab untuk mengelola kegiatan di sekolah menjadi motivasi yang tak terhingga. Terselesaikannya semua kegiatan sekolah memang membutuhkan pengorbanan. Selain tenaga dan pikiran, waktu santai yang biasa saya nikmati pun seolah berlalu. Memegang benda ajaib bernama handphone pun nyaris tak sempat. Bahkan WA pun saya nonaktifkan agar notifikasinya tidak mengganggu selama mengerjakan semua kegiatan.

Barulah tanggal 6 Juni 2021, si mungil handphone kembali aktif. Bisa dibayangkan betapa bejibunnya pesan whatsapp yang tertahan hampir selama dua minggu. Setelah scroll satu per satu pesan yang masuk, mata tertuju pada pesan yang selalu saya anggap istimewa. Pesan yang selalu saya rindukan karena selalu penuh makna dan mutiara. Pesan dari Sang Pendekar Literasi NTT, Bunda Dra. Lilis Herpianti Sutiko, SH atau biasa saya panggil dengan Bunda Lilis.

Pesan itu telah masuk tanggal 2 Juli 2021 pukul 06.48 WIB. Saya jadi membayangkan betapa berharapnya Bunda Lilis agar pesan segera dibaca. Pesan yang beberapa hari terlihat hanya centang satu. Padahal inti pesannya sangat penting, yakni meminta saya menjadi nara sumber belajar menulis online.

“Sanget nyuwun tolong narsum anak-anak SD”
“The Power Of Pada Suatu Hari”
“Anak-anaknya Dosen UNESA mau nulis buku antologi”
“Sama Menulis itu Nikmat”
“Jika bersedia akan saya masukkan group”

 Begitulah untaian chat dari Bunda Lilis yang baru saya baca. Sebenarnya sudah beberapa kali Bunda Lilis meminta saya menjadi nara sumber. Namun kali ini mungkin yang paling spesial karena audiencenya adalah anak-anak setingkat SD. Mereka adalah anak-anak dari para dosen UNESA. Saya diminta menyajikan materi The Power of Pada Suatu Hari dan Menulis Itu Nikmat.

Saya gamang memutuskan antara bersedia atau tidak. Kenapa? Karena pada saat bersamaan saya berada dalam situasi sisi dua keping mata uang dan buah simalakama. Padatnya kegiatan pada akhirnya membuat saya sakit. Isteri saya kebetulan juga sedang sakit karena colitisnya kambuh sehingga harus bedrest total. Anak-anak membutuhkan pengasuhan. Tugas-tugas kantor pun juga harus terselesaikan. Pada akhirnya, saya pun menerima tawaran Bunda Lilis dengan segudang rasa berkecamuk. Saya memang orang yang pekewuhan (Ind: sungkan). Tidak sampai rasa hati jika harus mengecewakan orang lain. Bermodal keyakinan dan niat ibadah, saya yakin bisa menunaikan tugas dari Bunda Lilis.

Waktu untuk mempersiapkan materi pun ternyata hanya tersisa 24 jam. Meski sebenarnya kedua materi yang diminta sudah pernah saya sajikan di kelas menulis online yang diselenggarakan AGUPENA NTT maupun Rumah Produktif Indonesia NTT, namun stylenya harus saya rubah. Saya harus membahasakan materi sesuai dengan tingkatan usia anak-anak sekolah dasar. Pada akhirnya beberapa menit sebelum kelas online dibuka, materi pun selesai saya kerjakan.

Rabu tanggal 7 Juli 2021 selepas isya, saya menjadi nara sumber kelas menulis online melalui whatsapp group PENULIS SURABAYA didamping Pak Novataman Adi Nugraha, S.Pd., Gr. dari Bojonegoro. Setelah diberikan kesempatan, saya menyampaikan materi dengan gaya mengajar online di kelas PJJ untuk anak didik ketika di sekolah. Agar suasana akrab, saya menggunakan panggilan Mr. Yon's. Panggilan yang disematkan anak didik saya di sekolah.

Materi saya awali dengan menceritakan latar belakang menjadi seorang penulis. Saya sebenarnya lulusan sekolah komputer, namun karena kebiasaan menulis sedari kecil maka bisa jadi penulis. Motivasinya berawal saat duduk di SD. Saya sangat hobi membaca majalah, yang waktu itu bernama Si Kuncung serta buku-buku cerita di perpustakaan sekolah. Awalnya hanya seneng membaca saja. Suatu hari saya melihat tulisan kakek dalam bentuk tulisan Jawa yang sangat indah dan rapi. Hal itulah yang membuat saya termotivasi agar pada suatu hari bisa menjadi penulis seperti kakek. Seiring waktu berjalan saya berhasil menulis puluhan buku solo, beberapa buku antologi dan telah menjadi editor ribuan buku.

Jadi modal awal untuk menjadi seorang penulis adalah senang membaca. Kenapa? Karena penulis yang baik itu adalah pembaca yang baik. Untuk menghidupkan suasana, saya berikan pertanyaan untuk audience, “Sebenarnya mengapa seseorang itu harus menulis?”

Menurut saya menulis itu membawa manfaat bagi penulis maupun pembacanya antara lain:

  1. Memperluas Pengetahuan Penulisnya
  2. Membagi Pengetahuan Kepada Para Pembaca
  3. Memperluas relasi (dikenal banyak orang)
  4. Melatih berkomunikasi dengan para pembaca
  5. Menambah penghasilan

Pertanyaan kedua, “Bisakah menjadi penulis sejak usia dini?” JAWABANNYA SANGAT-SANGAT BISA. Terbukti dari terbitan buku Kecil-kecil Punya Karya ditulis oleh adik-adik yang saat menulis buku baru berusia 9 tahun dan berhasil menjadi buku best seller seperti adik Ramya dalam karya berjudul “Dunia Es Krim”

Jadi, semua harus optimis kalau bisa menulis. Itulah gunanya belajar melalui grup whatsapp kelas menulis online seperti ini. Selanjutnya tibalah saya sampaikan materi The Power of Pada Suatu Hari.

“Wah judulnya kok bikin pusing pake ke-Inggris-inggrisan ya? Bahasanya juga blasteran Indonesia Inggris!!!! Tenang ya adik-adik...”
“Sebenarnya begini kisahnya Mr Yon's menyajikan materi yang pernah Mr sajikan di kelas MBI NTT dan termuat di blog Kompasiana”

“Taraaaaa....... sejarahnya bermula dari pengalaman Mr Yon's saat diberi tugas membuat karangan oleh guru waktu duduk di SD bahkan hingga SMP.”
“Saat bingung mau menulis apa, ya setiap mulai menulis didahului dengan Pada suatu hari...”
“Bermula dari 3 kata tersebut....eeeee....seluruh ide di kepala pun keluar dengan lancar ..... Karangan selesai dan nilainya pun bagus... Buktinya????? Mr Yon's bisa lulus sarjana....hiii...hiii.....hiiii.... Coba kalau nilainya jelek pastinya tidak naik kelas. Benar khan adik-adik?”
“Jadi kalau malam ini adik-adik belajar ilmu menulis, sebenarnya adik-adik sudah bisa menulis lhoh....!!!!!”

Begitulah prolog materi yang saya sampaikan. Intinya bahwa saat duduk di bangku sekolah dasar setiap siswa sudah pernah mendapat tugas mengarang dari bapak ibu gurunya di sekolah. Jika adik-adik sudah pernah mengarang, ya seperti itulah yang dinamakan menulis. Aktivitas yang biasanya kental dengan penggunaan kalimat pengantar “Pada suatu hari…” adalah mendongeng. Contohnya bisa disimak pada video dengan link : https://www.youtube.com/watch?v=xry3z7NR91I. Pendongeng dalam video tersebut mengawali kisahnya dengan Pada suatu hari....

“Bapak/ibu guru atau Papa/Mama di rumah mungkin saat mendongeng juga menggunakan pembuka Pada suatu hari... Coba dinget-inget lagi ya....”, saya coba mengingatkan Kembali audience

Apa sih kehebatan Pada suatu hari sampai-sampai dipasangkan dengan The Power of? Ada lima kehebatan Pada suatu hari yakni membuka kran ide, bisa jadi buku, bisa jadi lagu, bisa jadi puisi, bisa jadi dongeng.

1.      Pembuka kran ide untuk menulis.

“Simak contoh dari Mr Yon’s ya, yang diambil dari pengalaman belajar malam ini!”

“Nah tuh....terbuka tho kran idenya... Tulisan itu tidak harus muluk-muluk, namun enak dinikmati dan renyah dibaca...eh....kok kayak cemilan ya....ha…ha…ha…”

2.      Bisa jadi buku

Bukunya berjudul Pada Suatu Hari Nanti karya Eyang Sapardi, salah satu sastrawan yang sangat terkenal

3.      Bisa jadi lagu

http://pelanginada.com/suatu-hari-aku-bisa/

“Nah itu liriknya. Lagunya asyik loh didengar dari suara emas Kak Mira Julia”

4.      Bisa jadi puisi

5.      Bisa jadi dongeng

“Nah, gimana adik-adik....ternyata hanya dengan Pada suatu hari ternyata menjadi bermacam-macam karya...wooooowwwwwww.......keren khan....!!!”

Kalau dibuat ilustrasi mengenai fungsi pada suatu hari adalah .....

Kenyataannya, banyak penulis pada suatu ketika mengalami kebuntuan. Mau nulis apa, mulai dari mana dan seribu kebuntuan yang bersliweran. Nah jurusnya....


Intinya penggunaan "Pada suatu hari" di awal tulisan, merupakan teknik untuk memecah kebuntuan dalam mengawali tulisan. Sulitnya menemukan kata pertama memang masalah yang banyak dialami penulis pemula. Jika kebuntuan bisa terpecahkan maka ide dapat dituliskan dengan lancar.

“Menulis itu sebenarnya mudah loh adik-adik. Kalau kemarin Kak Aam memberi contoh bunga melati, Mr Yon' memberi contoh yang mudah adalah sosok ibu.”

“Adik-adik tentu sangat lekat dengan sosok ibu, dengan tiga kata kunci : melahirkan, mengasuh, mendidik sudah bisa jadi persembahan istimewa bagi ibu”

“Adik-adik yang suka diajak travelling bisa menuliskan : Kapan berangkatnya, siapa saya yang ikut berangkat, naik apa, rute mana yang dilalui, bagaimana suasana selama perjalanan, berapa lama perjalanan, sampai ditujuan kapan jam berapa, bagaimana suasana tempat tujuan, bagaimana perasaan setelah sampai tujuan, apa saja yang ada di tempat tujuan, ngapai aja selama di tempat tujuan, kemudian pulang jam berapa, beli apa, langsung pulang atau mampir, sampai di rumah jam berapa dan seterusnya...”

“Itu kalau dituruti bisa jadi buku ber bab-bab. Makanya kalau diajak traveling jangan hanya kepikiran selfie aza ya....hi…hi…hi….”, canda saya ke audience

Akhirnya pada pukul 20.45 WIB, sesi materi saya akhiri dengan permintaan maaf jika banyak salah kata. Teriring do’a bagi para audience, “Mr doakan pada suatu hari nanti adik-adik akan menjadi penulis Generasi Emas Indonesia. Penerus Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya.”

 

 Sang Pena Lereng Lawu

7 Juli 2021

Kamis, 18 Maret 2021

Kacamata Religi Menyikapi Pandemi

Kacamata Religi Menyikapi Pandemi

Pandemi Covid-19 telah berlangsung lebih dari satu tahun. Virus yang sebelumnya disebut dengan Corona itu masih masif menyebar di permukaan bumi. Tanda-tanda akan berakhirnya pandemi Covid-19 pun semakin tidak jelas. Terlebih Covid-19 termasuk virus yang “cerdas” karena mampu bermutasi menjadi berbagai jenis sehingga semakin menyulitkan dalam penanganannya.  Adanya mutasi virus tersebut mengancam efektivitas vaksin yang saat ini sedang dipergunakan secara massal.

Kilas balik pada awal munculnya, penyebaran virus Covid-19 memang tidak dibayangkan akan membawa dampak separah sekarang ini. Virus yang awalnya menyebar di Wuhan, Cina ini diprediksi akan mudah ditangani seperti jenis virus lainnya (flu burung, flu babi, Mers). Kenyataannya, semua negara dibuat kalang kabut menghadapi makhluk yang sebenarnya sangat lemah tersebut. Manusia juga harus belajar beradaptasi pada keadaan kenormalan baru, karena tidak dapat kembali menjalani kehidupan normal seperti keadaan sebelum pandemi.

Yah….kehadiran makhluk yang hanya berukuran nano tersebut, ternyata telah meruntuhkan kesombongan manusia. Bukankah selama ini manusia pamer bisa membuat teknologi canggih? Bukankan manusia selama ini pamer kehebatan senjata yang dimilikinya? Bukankah manuusia selama ini pamer akan kecerdasan yang dimilikinya sehingga tak segan menyalahi hukum Allah?

Melihat semua bentuk pamer dari makhluk yang bernama manusia, Allah pun masih menunjukkan sifat kasih sayangNya. Bukan burung Ababil yang membawa batu kerikil dari neraka yang diturunkan seperti saat Allah menghukum Raja Abrahah yang menyerang Ka’bah. Bukan pula azab berat yang menimpa umat-umat sebelum kita seperti zamannya Nabi Nuh dan Nabi Luth. Allah pun mengutus makhluk yang menurut ukuran manusia sangat lemah bernama Covid-19. Makhluk yang bisa mati hanya dengan air sabun. Allah masih begitu cinta kepada makhluknya, berkat permohonan Rasulullah SAW agar umatnya mendapatkan perlindungan sepeninggal beliau.

Belajar dari pandemi ini bahwa Covid-19 ternyata mampu menjadi “guru” yang mengajarkan betapa manusia itu sangat lemah. IQ yang dibangga-banggakan tak mampu segera menemukan solusi. Senjata canggih hanya teronggok tak berguna, Pondasi kokoh ekonomi pun goyah. Adikuasa dan adidaya dibuat bertekuk lutut. Tak terbayangkan jika Allah mengutus makhluk yang ukurannya lebih besar dan lebih mematikan. Tentu manusia di bumi ini akan musnah. Masih ingat serangan semut dan lebah di beberapa daerah beberapa waktu lalu? Manusia sudah dibuat kalang kabut.

Di tengah hiruk pikuk wabah Covid-19, berkecamuk perdebatan tentang keberadaan virus tersebut. Ada yang berpandangan bahwa virus itu alamiah adanya, Sebagian yang lain berpandangan bahwa virus itu sengata dibuat dan disebarkan. Pandangan tentang kesengajaan ini bahkan semakin kuat. Alasannya terkait dengan pemberitaan bahwa Pemerintah Cina membatasi akses Tim WHO untuk mendeteksi asal muasal virus, tidak segeranya WHO mengumumkan hasil investigasinya, hingga ada yang mengaitkan vaksin Sinovac dengan konspirasi virus sengata dibuat.

Semua analogi pun berkembang liar di masyarakat. Berbagai analisis dan praduga pun diungkap oleh banyak pakar baik yang membenarkan maupun menyanggah. Salahkah? Tak ada yang salah karena semua mengikuti takdir Allah. Bukankah Allah menganugerahi manusia dengan akal? Maka wajar jika manusia berlogika sebab Allah menganugerahkan kecerdasan untuk berpikir.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Israa’ : 70).

Ayat tersebut tersirat makna bahwa manusia adalah makhluk yang mulia serta memiliki kelebihan dibandingkan makhluk lain yang telah diciptakan manusia. Salah satu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia adalah akal yang digunakan untuk berpikir.

Terkait dengan keberadaan Covid-19, saya tak ingin larut dalam polemik. Selain tidak memiliki pemahaman terhadap dunia virus, juga bukan kapasitas saya untuk membahas persoalan mewabahnya Covid-19. Saya mengakui bukan ahlinya sehingga saya khawatir jika ikut berpolemik akan membuat kehancuran muka bumi lebih cepat..

Sabda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam (SAW): "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari)

Sesuai dengan keyakinan pribadi, bahwa lepas dari polemik wabah Covid-19 itu direncanakan atau tidak direncanakan oleh manusia, saya haqul yaqin semua kejadian di atas bumi ini adalah kehendak Allah. Tugas yang saya sadari hanyalah mengimaninya dan bersabar atas semua kehendak Allah. Semua adalah sunatullah yang wajib diimani, terlebih bagi saya sebagai orang Islam yang salah satu rukun imannya adalah iman atas kehendak Allah.

Berdasarkan apa yang saya pahami dari banyak sumber ilmiah, bahwa Covid-19 itu termasuk makhluk hidup. Jika demikian, bisakah manusia membuat makhluk hidup? Berdasarkan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, tak ada satupun makhluk di atas bumi ini, secerdas apapun dan secanggih apapun yang sanggup membuat makhluk hidup. Jadi mustahil manusia dapat menciptakan makhluk hidup. Jangankan makhluk, membuat satu surat semisal Qur'an saja tidak sanggup. Sebagaimana firman Allah :

Dan jika kamu meragukan (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allâh, jika kamu orang-orang yang benar. Jika kamu tidak dapat membuat, dan (pasti) kamu tidak akan mampu, maka takultal kamu akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang disediakan bagi orang-orang kafir. (Al-Baqarah (2): 23-24).

Kesimpulannuya bahwa semua ada yang ada di langit dan bumi adalah ciptaan Allah. Allah berfirman : “Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, Celakalah bagi orang yang ingkar kepada Tuhan karena siksaan yang sangat berat,” (QS. Ibrahim (14) : 23-24).

Covid-19 sebagai makhluk hidup, sudah pasti ciptaan Allah. Bagaimana dia ada dan menyebar ke seluruh penjuru bumi itu juga atas izin Allah. "Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, akan tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka."(QS. Al-Israa': 44). Tidak mungkin jika Covid-19 menyebar tanpa seizin Allah. Virus juga hanya menginfeksi orang-orang yang telah dipilih oleh Allah. Menjadi perantara kematian bagi orang-orang yang telah tiba saatnya berpulang ke hadirat Allah.

Bukankah selembar daun yang jatuh dari pohonnya pun juga atas izin Allah? “Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am 6: Ayat 59).

Meski Allah telah menjelaskan secara gamblang di dalam Al Qur’an, tetap saja manusia mengandalkan alam logikanya untuk mencari kebenaran secara ilmiah. Apakah itu di larang? Tidak ada yang melarang. Sebagaimana telah di jelaskan di atas bahwa anugerah yang bernama akal itu digunakan untuk berpikir. Namun, berpikir yang dimaksud adalah berpikir akan tanda-tanda kebesaran Allah. Setelah itu menumbuhkan keimanan yang kuat, Bukan sebaliknya, justru melahirkan pandangan yang membawa pada kekufuran. Jika kita menganggap Covid-19 itu buatan orang Cina sama halnya kita telah kufur. Mengapa? Secara tidak langsung kita telah mengakui bahwa ada kuasa lain yang mampu membuat virus (baca: menciptakan makhluk hidup).

Tak hanya sekedar urusan virus saja yang membuat manusia terkadang terlalu mengandalkan akal ilmiahnya, hingga tak sadar membuatnya jauh dari Allah. Membuatnya tidak mengimani ayat-ayat Allah. Apa buktinya? Hingga saat ini masih ada yang mempersoalkan alasan haramnya daging babi dan minum khamr. Bahkan ada yang memberikan pandangan bahwa haramnya daging babi karena mengandung cacing pita. Haramnya khamr karena membuat orang mabuk sehingga melupakan Allah.

Nah… di zaman modern dengan berbagai peralatan canggihnya, cacing pita dalam daging babi akhirnya dapat disingkirkan. Dagingnya pun tidak lagi mengandung cacing pita. Khamr yang aslinya memabukkan, akhirnya dipergunakan untuk mengolah makanan yang sering ditemui di berbagai tempat makan. Orang yang memakan makanan yang dioleh dengan mencampurkan khamr pun tidak mabuk.

Jika daging babi bebas cacing dan khamr dalam makanan tidak memabukan, apakah lantas membuatnya jadi halal? Tentu tidak!!! Apapun yang diharamkan oleh Allah di dunia ini, tentu buruk bagi manusia. Hukumnya wajib bagi orang yang beriman untuk tunduk dan patuh tanpa harus bertanya “mengapa”. Bukankah Rasulullah sebagai hamba yang sangat dikasihi Allah juga tidak pernah bertanya kepada Allah jika sesuatu hal itu diharamkan Allah? Rasulullah SAW pun menjauhkan diri dari segala yang dilarang Allah.

Tak sebatas hal halal haram saja. Urusan ghaib saja masih juga diperdebatkan seperti peristiwa yang baru saja diperingati yakni Isra’ Mi’raj. Masih saja muncul polemik, bagaimana perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa  kemudian ke langit ketujuh? Seperti apa kecepatan tunggangan Rasulullah? Saat mi’raj hingga langit ke tujuh itu hanya jiwanya saja jiwa dan raganya? Bolehkan kita melogika, tentu saja boleh. Namun melogika kuasa Allah yang hanya cukup dengan berkata “Kun Fayakun” tentu diluar batas logika manusia.

Gara-gara berpolemik soal Isra’ Mi’raj terkadang umat Islam sendiri lupa akan esensi peristiwa tersebut. Yakni, Rasulullah menerima wahyu untuk melaksanakan shalat lima waktu. Kenyataannya, berapa banyak orang yang mengaku Islam justru tidak shalat? Berapa banyak yang paham isra’ mi’raj tapi shalatnya tidak tertib atau bahkan bolong-bolong?

Intinya bahwa semua yang ada di dunia ini dijadikan Allah sebagai ujian  bagi manusia. Perintah dari Allah untuk menguji sejauh mana manusia dapat menjaga ketaatannya, sedangkan larangan dari Allah untuk menguji seberapa tangguh manusia dapat menjauhinya. Bagaimana dengan Covid-19? Ia adalah ujian bagi keimanan kita. Banyak justru yang terjebak dalam polemik, tapi lupa bahwa semua terjadi atas kehendak Allah.

Marilah kita segera membangun kesadaran. Covid-19 adalah ciptaan Allah. Covid-19 bertasbih kepada Allah. Covid-19 bukan makhluk brutal. Ia hanya akan menginfeksi orang yang dikehendaki Allah. Jangan hanya terpenjara dengan alam ilmiah, tapi gunakan hati untuk mengimani. Agar kita tidak semakin jauh dari Illahi. Kita makhluk yang lebih sempurna dari Covid-19, tapi belum tentu kita lebih mulia darinya. Mengapa? Covid-19 hanya taat kepada perintah Allah, sedangkan kita terkadang masing mengingkari perintah Allah.

Selain senantiasa berusaha dan berdoa, hal terbaik yang perlu untuk segera dilaksanakan di masa pandemi ini adalah, “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,” (Qs, Ali Imran (3): 133).  Bersegeralah berarti menyegerakan untuk mengerjakan hal-hal yang baik, yakni meraih ampunan Allah. Tetaplah waspada, karena Covid-19 bisa menyebabkan kita jatuh dalam kekufuran.

 

Lereng Lawu,

18 Maret 2021