Mendengar nama
Covid-19 memang membuat nyali ciut. Betapa tidak, makhluk yang masuk kategori
nano virus itu telah menghancurkan nyaris setengah tatanan dunia. Senjata
canggih tanpa makna. Jutaan tentara tak berdaya. Ilmuwan dipaksa kerja ekstra.
Yang jenius dibuat merana. Adidaya dan adikuasa pun bertekuk lutut. Puluhan
juta telah terpapar dan jutaan lainnya tak mampu bertahan. Mereka yang bertahan
terpaksa kehilangan pekerjaan. Mereka yang tak terpapar harus berjuang
menumpas rasa lapar. Mereka bahkan menderita kehilangan anggota keluarga.
Kondisi
santer dalam pemberitaan ibarat pengiring ninabobo. Setiap hari tersaji
informasi jumlah yang positif, sembuh maupun meninggal. Angka kejadian dan
tingkat hunian rumah sakit meningkat signifikan. Was-was. Khawatir. Gelisah.
Perasaan yang menghantui setiap waktu. Nyaris semua sektor terdampak. Interaksi
sosial, aktivitas spiritual, gerak nadi ekonomi, administrasi perkantoran,
mobilitas masyarakat, serta detak jantung pendidikan menjadi abnormal.
Pemerintah
lintang pukang. Penerapan lockdown
ibarat pepatah, “dimakan bapak mati tak dimakan ibu mati”. Akhirnya pembatasan
sosial berskala besar, mikro hingga darurat diterapkan. Himbauan 3M pun menggema setiap
saat. Cuci tangan. Pakai masker. Jaga jarak. Sederet kata yang bisa dibaca di
tempat-tempat strategis dari ujung kampung hingga pencakar langit. Jelek kah?
Justru keadaan itu mampu membangun komunitas sehat secara global. Tak sebatas
menyelamatkan diri dari sang virus, tapi dalam jangka panjang untuk menjaga
imun dan tentunya juga memperpanjang harapan hidup. Hah!!! Oh iya... demi imun
juga ya....
Kepedulian
warga menjaga kesehatan juga meningkat drastis. Jika sebelum Pandemi hanya
asal-asalan menjaga tubuh, kini mengkonsumsi multivitamin seolah jadi fokus
utama. Di samping itu, banyak yang mulai menyadari nikmat yang bernama
imunitas. Nikmat yang selama ini melekat dan menjaga tubuh tetap bugar. Nikmat
yang sangat dekat tapi diabaikan.
Kebijakan
yang ditempuh mulah berbuah hasil. Perlahan namun pasti, lonjakan kasus dapat
ditekan. Namun, kapankah semua ini akan berakhir? Sanggupkah pemerintah
menanggung semuanya? Sanggupkah masyarakat bertahan dalam kondisi pandemi?
Jawabnya masih tersimpan rapi di langit ketujuh. Semua masih menunggu. Semua
masih berharap. Hanya berpasrah diri bukanlah pilihan bijak. Berjuang adalah
kata penghibur untuk terus merajut asa di tengah ketidakpastian kapan pandemi
berakhir.
Seperti umumnya
umat manusia di dunia, aku juga merasakan dampak Covid-19. Tak terbayangkan
memang saat bulan Desember 2019. Covid-19 yang saat itu bernama Corona, berada
nun jauh di sana, Wuhan. Februari 2020, sekolah sudah mempersiapkan acara ceremony pelepasan. Bahan kebaya bagi
siswa putri pun sudah dipersiapkan warna dan modelnya. Aku merengek untuk
menjahitkan kebaya di butik langganan mama. Sesi pemotretan untuk buku kenangan
juga usai dilaksanakan.
Saat Maret
2020 menjelang, ujian akhir sekolah dilaksanakan. Begitu usai, seolah aku dan
teman-teman sudah melepaskan separuh beban. Plooonggg… UNBK nyaris sudah
terabaikan karena tak lagi menentukan. Aku bersiap untuk menggapai status baru
sebagai “mahasiswa”. Anak kuliahan. Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) menjadi tembok penghalang yang
harus diruntuhkan.
Namun,
rencana tinggalah rencana. Pertengahan Maret 2020 mengawali petaka. Sebagai siswa
tingkat akhir, aku harus mengubur banyak kenangan di penghujung masa yang
disebut “sekolah”. Rencana upacara pelepasan dan pelaksanaan UNBK sirna begitu
saja. Padahal aku nyaris menjadi bagian dari generasi sejarah. Generasi
terakhir yang melaksanakan UNBK. Sedih. Marah. Seribu rasa lainnya mengaduk
emosi. Nasib kelanjutan untuk naik kasta pun tak jelas. SBMPTN yang ada di
depan mata tampak samar.
Hari-hari
semenjak kebijakan belajar dari rumah, terasa menegangkan. Meski UNBK
dihapuskan lebih cepat, namun tidak dengan SBMPTN. Galau menyelimuti asa menembus
perguruan tinggi negeri impian. Sekolah tak bisa lagi memberi jam tambahan.
Lembaga bimbingan pun terpaksa harus daring. Tak ada lagi teman yang bisa
diajak curhat. Semua galau dengan nasibnya sendiri. Kecemasan melanda saat
harus belajar sendiri tanpa bimbingan.
Tumpukan
buku soal latihan SBMPTN yang nyaris semeter semakin membuat pusing kepala. Aku
bingung harus berbuat apa.
Bertanya pada ayah dijawab, “Tanya sama
mBah Google.”
Bertanya pada mama dijawab, “Mama ndak
pernah kuliah. Tanya saja sama ayahmu.”
Bertanya pada kakak alumni dijawab,
“Pelajari saja Dhek buku-buku latihan soal. Mirip kok pola soalnya.”
Pusing…pusing… pusiiiiiiiinggggg……!!!
“Aku harus
bisa! Aku harus berhasil! Aku optimis bisa menembus PTN impianku!”, teriakan
hati ini yang selalu memberi spirit. Aku teringat pesan ayah, “Cah Ayu, bapakmu
dulu tidak ada yang membimbing, Toh, bisa kuliah juga meski di luar negeri.”
Kata itu terngiang begitu nyaring. Ya…aku harus belajar mandiri! April 2020 aku
belajar dengan dipandu kakak-kakak dari bimbel maupun kakak alumni secara
daring. Sesekali aku juga bertanya Pak Dismas, wali kelas yang super smart. Aku tak bisa berbohong akan beban
psikis yang begitu berat. Diterima atau tidak diterima.
Di
sela-sela belajar, aku mulai menentukan kampus sasaran. Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta dan Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ayah memang menyarankan
agar memilih kampus favorit dan membidik jurusan yang punya peluang kerja
tinggi, Maklumlah, aku anak pertama yang jadi teladan. Awalnya, Ayah dan Mama
mendorongku masuk Fakultas Kedokteran. Namun aku kurang percaya diri masuk di
fakultas tersebut. Setelah berbicara
dengan teman, mentor bimbel, wali kelas dan Ayah, akhirnya aku memutuskan
mengambil jurusan hukum. Meski anak IPA,
aku beranikan diri untuk lintas jurusan.
Aku
mendaftarkan diri melalui jalur SBMPTN dan jalur Ujian Mandiri. Khusus jurusan
hukum SBMPTN aku mengambil pilihan pertama di UGM dan pilihan kedua di UNS.
Adapun ujian mandiri mengambil selain jurusan hukum di Universitas Diponegoro
Semarang dan Universitas Negeri Yogyakarta. Sebagai cadangan, aku juga telah
lolos seleksi dan diterima di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Waktu
berlalu begitu cepat. Di tengah hiruk pikuk Covid-19, aku berperang di “Padang
Kurusetra” yang bernama SBMPTN. Juli 2021 menjadi saksi sejarah saat aku harus
mengikuti ujian online di Laboratorium Komputer Gedung III UNS. Kondisi fisik
yang terkuras, nyaris menggagalkan usahaku. Suhu badan tinggi sempat membuat
khawatir untuk melewati pemindai suhu. Hingga akhirnya aku dapat lolos
mengikuti seleksi.
Setelah
mengikuti ujian, bukan tenang dirasa. Perasaanku semakin was-was dan tertekan.
Membayangkan antara diterima dan tidak diterima. Tak mau terbenam dalam
kegalauan, aku bersiap menghadapi medan pertarungan berikutnya. Seleksi Sekolah
Tinggi Ilmu Statistik di Badan Kepegawaian Negara Semarang. Aku sebenarnya tak
begitu tertarik. Mengapa? Matematika. Yah… namanya statistik… pasti tak luput
dari matematika.
Didorong
keinginan untuk menunjukkan seberapa berhasil dalam belajar, aku pun
mengikutinya. Hasilnya? Aku lolos seleksi tahap pertama dengan nilai nyaris
400. Namun, aku terhenti pada tahap kedua jurusan S1 Statistik. Seandainya
memilih jurusan D3, aku sudah jadi calon pegawai negeri karena yang lolos
seleksi kurang dari kuota. Kecewa? Sangat tidak kecewa. Sebaliknya, aku sangat
bangga karena telah menunjukkan bahwa aku bisa dan berhasil meraih nilai lebih
baik dari teman-teman sekolah.
Bergeser ke
Solo, aku mengikuti seleksi Ujian Mandiri (UM) masuk UGM, UNS, UNDIP dan UNY. Tujuannya
sebagai cadangan PTN jika saringan lewat SBMPTN tak berhasil. Seleksi UM UGM,
UNDIP dan UNY cukup mudah karena hanya menggunakan nilai raport, sedangkan UNS
harus tes online dari rumah. Menilik deretan nilai raport, rasa pesimis pun
menyelimuti. Secara paralel, nilaiku untuk enam mata pelajaran prioritas memang
hanya di range tengah. Namun jika
melihat peta kekuatan pada jurusan yang kupilih, rasa optimispun bergelora. Aku
mengambil jurusan Fisika di UGM dan UNY, Farmasi di UNDIP dan Manajemen di UNS.
Akhirnya
hari yang dinanti menjelang. 14 Agustus 2020. Bertepatan dengan hari Pramuka. Hari
yang menjadi saksi sejarah aku berhasil menggapai kampus impian atau tidak.
Jarum jam nampak malas berdetak. Waktu terasa begitu menyiksa. Bulir air mata
mulai menetes bak gerimis. Tak pernah hati setakut ini. Seolah sedang
menghadapi malaikat maut. Tak kuat raga
membuka laptop. Phobia menjadi-jadi saat melihat layar komputer kerj Ayah. Sambil
menahan isak tangis, aku berkata, “Yah…Ayah….aku tak sanggup…” Mama yang sejak
pagi juga terlihat khawatir, berusaha menenangkan diriku.
Menjelang
waktu asar, air mata mengalir bak aliran sungai Kapuas. Dag…dig…dug…dag…dig…dug…semakin tak
beraturan.
“Ayah!!! Mama!!! Maafkan Shinta jika
tak diterima ya!!!”, aku berteriak kencang dengan tenaga yang tersisa.
“Tenang, nDuk. PTN bukan segala-galanya. Ayahmu dulu juga tak lolos PTN.
Rejeki sudah diatur sama Allah” kata Mama yang tetap saja tak bisa menghentikan
tangisanku.
“Ayah mana, Ma? Biar Ayah saja yang
buka!!!” tanyaku setengah berteriak.
“Sabar ya, nDuk. Ayahmu baru pergi jamaah asar. Bentar lagi juga pulang” jawab
Mama lirih.
Samar-samar
kudengar suara motor Ayah berhenti di halaman. Pintu depan berderit lirih
seolah menyapa yang ada di dalam. Sambil menangis, sontak aku berteriak,
“Ayah…!!! Ayah...!!! Gimana hasilnya, Yah…!!! Aku takut, Yah…!!!”
Sambil membuka laptop, Ayah menjawab
santai, “Tenang…. tenang… Ayah yakin kamu diterima, Cah Ayu.”
Aku pergi ke kamar. Ku tutup pintu
rapat-rapat. Aku tak mau melihat hasil pengumuman. Aku tak sanggup mendengar
kata “tidak diterima”. Sejurus kemudian terdengar riuh di luar kamar.
“Ahamdulillah, nDuk! Kamu diterima di UNS! Alhamdulillah…!!! Terima kasih, ya
Allah!” teriak Mama.
Secepat kilat aku terbang ke luar
kamar. “Benar, Ma??? Tidak bohong, Ma???” kataku masih belum percaya.
“Tuh lihat sendiri di website!” jawab
Ayah.
Kubaca perlahan tulisan diwebsite,
“SHINTA RAHMASARI Nomor Ujian XXXXXXXX Dinyatakan Diterima di Fakultas Hukum
UNS”. Tangisanku pecah.
“Ya Allah!!! Terima kasih, ya Allah!!!”
kuluapkan rasa bahagiaku sambil sujud syukur.
Kulihat Ayah dan Mama menangis bahagia.
Aku, anak pertamanya, berhasil menjadi anak kuliahan di kampus favorit. Meski
harapanku besar diterima di UGM, namun aku sangat bahagia lolos SBMPTN. Sesuai
harapan Ayah dan Mama agar aku kuliah tidak jauh dari mereka.
Selepas
magrib, grup Whatsapp pun heboh
dengan tagar #hasilSBMPTN #lolosSBMPTN #gagalSBMPTN. Satu per satu kuhubungi
sahabat dekat. Hatiku sedih saat mendapati jawaban “Shin, Aku belum diterima.” Kejutan
demi kejutan bermunculan di chat WA. Deretan siswa yang masuk 10 besar, banyak
yang gagal menembus SBMPTN. Mereka yang hanya dipandang sebelah mata, justru
banyak yang lolos, Termasuk diriku tentunya. Kelasku yang termarginalkan
mendadak heboh. 21 dari 36 siswa berhasil lolos SBMPTN! Pak Dismas yang selama
ini ketus saat di kelas, menulis chat yang mengharukan. “Selamat ya
anak-anakku. Kalian buat Bapak bangga. Tak sia-sia selama ini Bapak keras
terhadap kalian. Bagi yang belum lolos, tunggu saja saatnya. Masih ada UM yang
menanti kalian.”
Selepas
saling menghibur dan berucap selamat, kini saatnya menatap langkah mengarungi
medan baru yang disebut KAMPUS. Tak sia-sia selama ini aku merengek minta
dibelikan buku. Bimbel Online. Karantina belajar mandiri. Membuang kesempatan
bersenang-senang. Akhirnya, cita-citaku menembus kampus dan jurusan favorit
tercapai. Aku mampu menjawab semua sinisme. Maklum, label “lulusan Covid-19”, “Generasi
Pandemi”, begitu lekat tersemat. Kami yang lulus saat pandemi dianggap tak
punya kompetensi. Kini terjawab sudah. Meski lulusan pandemi, kami mampu
menerjemahkan tuntutan sekolah dengan baik. Lulusan pandemi yang punya kualitas
dan integritas!
Jaket
almamater sekarang sudah tersemat. Tak sekedar diterima di Fakultas Hukum, aku
juga berhasil menjadi Sekretaris Dewan Mahasiswa UNS (DEMA UNS). Organisasi
yang mengontrol kebijakan kampus. Keren bukan? Semua kebanggaan yang harus aku
jawab dengan sesegera mungkin wisuda. Tak sabar ingin membahagiakan kedua orang
tua dan kedua adikku.
Ternyata,
pandemi Covijd-19 membawa hikmah. Meski selama ini kuanggap lawan, ternyata aku
pun berkawan dengannya. Berkat Covid-19, aku lebih memahami apa arti
mensyukuri. Bukan hanya soal materi, namun juga non materi. Covid-19 mengajariku bagaimana cara bertahan
hidup. Menempa mentalku sekuat baja. Membakar semangatku bak tungku perapian.
Membuat hatiku teguh bak batu karang. Covid-19 mengajariku untuk peduli dengan sesama.
rasa saling menjaga. makna saling berbagi. hai covid-19! kami berterima kasih
atas jasa-jasamu. namun, kami tetap ingin engkau segera meninggalkan kami.
Surakarta, 10 Maret 2021
PROFIL PENULIS
Shinta Rahmasari, merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara. Putri dari Bapak Daryono dan Ibu Patmini yang lahir
di Surakarta pada tanggal 17 Oktober 2001.
Pernah mengenyam
pendidikan dasar di SDIT Insan Kamil Karanganyar (2008-2014), pendidikan menengah
di SMP Negeri 2 Karanganyar (2014-2017) dan SMA Negeri 1 Karanganyar (2017-2020).
Saat ini masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta pada semester III.
Aktif dalam
berbagai organisasi semenjak duduk di SMP yakni menjadi jurnalis majalah
sekolah dan paduan suara Saat SMA menjadi anggota Majelis Permusyawaratan
Sekolah (MPS) dan Forum Siswa Islam Karanganyar. Saat ini aktif sebagai anggota
IMAKA (Ikatan Mahasiswa Karanganyar, pengurus FOSMI UNS (Forum Mahasiswa Islam)
dan Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa (DEMA UNS) periode 2019-2024.
Hobi menyanyi. Aktivitas yang aktif ditekuni saat ini
adalah membaca, menulis dan design grafis sebagai bagian dari tugas
kemahasiswaan dan keorganisasian. Travelling adalah aktivitas yang biasa dilakukan
setiap akhir pekan bersama keluarga tercinta.