MENEMPA MENTAL BAJA DI ALASKA
"Karakter tidak dapat dikembangkan dalam
kemudahan dan ketenangan. Hanya melalui pengalaman pencobaan dan penderitaan,
jiwa dapat diperkuat, visi menjadi jelas, ambisi terinspirasi, dan kesuksesan dicapai."
- Helen Keller.
Nukilan kata motivasi di atas rasanya identik dengan
apa yang pernah saya alami. Ternyata tidak semua penderitaan membawa
kesengsaraan. Apa yang saya rasakan justru sengsara itu membawa nikmat. Nikmat
yang saya dapat adalah terbentuknya karakter bermental baja dan selalu berupaya
untuk mengatasi segala persoalan. Alhamdulillah saya dapat berperan sebagai solution maker di berbagai posisi yang
saya emban. Berkat penanaman karakter dari orang tua dan tempaan keadaan masa
lalu.
Kisah ini saya ceritakan berdasarkan apa yang saya
ingat sewaktu duduk di kelas 3 sekolah dasar atau saat berusia 10 tahun. Karena tak semua kisah di waktu kecil dapat saya
ingat kembali dengan
jelas. Saya lahir 45 tahun
yang lalu, di sebuah dusun kecil yang masih jarang penduduknya. Dusun Ngasem,
itulah nama dusun kelahiran saya. Letaknya kurang lebih 30
kilometer dari kota
Kabupaten Karanganyar dan 3 kilometer dari kota Kecamatan Kerjo. Sebuah dusun yang sangat terisolir dari
dunia luar karena letaknya di tengah hutan karet sehingga sering disebut kampung alaska
atau kampung di tengah alas (hutan) karet.
Dusun Ngasem dapat dikatakan lebih dari tertinggal pada tahun 1980-an. Infrastruktur
jalan yang jauh dari kata layak, karena hanya beralaskan tanah dan harus
melewati perkebunan karet milik PTP VIII Kerjo Arum. Pada saat musim penghujan, jalan tidak dapat dilewati kendaraan. Selain banyak
kubangan air, jalan juga licin karena bertekstur tanah liat. Waktu itu di dusun
saya hanya segelintir orang yang
memiliki kendaraan bermotor. Seingat saya, baru Pak Sutris (pegawai pos) dan Pak Jafar
(pegawai bank) yang
memiliki sepeda motor. Orang dusun lebih banyak beraktifitas dengan berjalan
kaki betapapun jauhnya. Bahkan untuk pergi ke pasar terdekat, Pasar Batujamus,
yang jaraknya 7 kilometer pun juga berjalan kaki.
Keadaan tersebut diperparah dengan ketiadaan aliran
listrik, sehingga masyarakat hanya mengandalkan lampu minyak atau lampu
teplok sebagai penerangan di
waktu malam. Setiap malam saya belajar bersama adik-adik saya dibawah cahaya temaram
lampu dinding. Beruntungnya pada masa itu masih jarang masyarakat yang
menggunakan alat elektronik menggunakan listrik. Alat komunikasi yang dimiliki
masyarakat Dusun Ngasem umumnya adalah radio transistor ditenagai baterai. Televisi menjadi barang yang sangat
ekslusif karena satu kampung hanya Pak Mo yang memilikinya. Itupun hanya bisa
ditonton seminggu sekali saat malam Minggu karena mengandalkan stroom accu di kota.
Kondisi dusun juga tidak lepas dari kondisi sosial
ekonomi warga yang hampir 97% berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat
hanya dapat mengandalkan sektor pertanian, tanaman palawija di tanah tegalan,
serta menjadi buruh di perkebunan karet. Hanya segelintir orang yang dapat
mengenyam pekerjaan formal. Termasuk Bapak saya yang berprofesi sebagai guru.
Namun apalah daya, gaji guru tahun 1970-an jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan
keluarga selama satu bulan. Tak heran, Bapak harus banting tulang selepas
mengajar di sekolah. Itulah mengapa Kakek dan Bapak mengatakan jangan pernah
bercita-cita menjadi guru, jadilah pegawai bank. Kata-kata itu masih terngiang di telinga saya hingga sekarang.
Iseng-iseng saya pernah
membuka file berkas Bapak di almari yang sudah keropos dimakan teter (seranggga
pemakan kayu). Betapa terkejutnya saat saya tahu
ternyata gaji Bapak hanya dua belas ribu rupiah untuk menghidupi lima orang anggota
keluarga. Tak terasa menetes air mata saya, ternyata Bapak pantang menyerah
agar mampu menyekolahkan kami bertiga hingga sarjana. Meskipun hingga pensiun
empat belas tahun
yang lalu, Bapak
juga masih berhutang di bank untuk membiayai kami bertiga.
Beratnya kehidupan 35 tahun lalu masih terbayang jelas di kelompak mata saya. Saya sekeluarga tinggal di rumah berukuran enam kali
lima meter persegi dengan dinding dari anyaman bambu dan menumpang di tanah
milik orang. Hari-hari
saya lalui dengan penderitaan yang mungkin tidak dirasakan anak zaman sekarang,
apalagi sekelas anak seorang guru. Bangun sebelum waktu subuh, mengisi bak
mandi, mengisi tempayan air minum, mencari rumput, menggembala kambing adalah
aktivitas rutin yang menemani saya mengiring berputarnya waktu. Bapak adalah
seorang pendidik yang keras baik di sekolah maupu di rumah. Mas Agung, mantan
murid Bapak pernah bercerita kalau Bapak saya adalah guru killer kalau istilah sekarang.
Setiap pukul dua dini hari, ibu sudah membangunkan saya untuk menemaninya mengambil air di sumber mata air
satu-satunya di kampung saya. Jarak tempuh pulang pergi sekitar lima kilometer. Berbekal dua jerigen air bervolume tujuh belas literan,
saya memikul air bersih
untuk mengisi dua tempayan air besar di dapur. Maklum saat itu belum ada layanan air
bersih. Meskipun ada
sumur di sebelah barat rumah, namun airnya tidak layak diminum karena berwarna
coklat. Setiap hari saya harus bolak-balik sebanyak dua kali
di waktu pagi dan dua kali di waktu sore ke mata air itu. Meskipun berjalan hampir dua puluh kilometer setiap
hari, tetapi ringan terasa karena banyak teman yang beraktifitas serupa.
Selepas mengisi tempayan air, tugas selanjutnya menimba air untuk memenuhi bak mandi rumah. Sekilas pekerjaan itu mudah, tapi kedalaman sumur di rumah saya tiga puluh tiga
meter. Setidaknya saya harus
menimba sepuluh kali untuk dapat
memenuhi bak mandi setiap pagi dan sore. Capek memang,
namun sedikitpun tak terbersit perasaan mengeluh. Mungkin karena usia saya
masih sekolah dasar. Pikiran yang terlintas hanyalah ingin segera menyelesaikan
pekerjaan agar bisa segera ke sekolah jika pagi atau bermain jika sore hari.
Setiap pagi jam
setengah tujuh, saya harus bersiap berangkat sekolah. Kebetulan sekolah
saya dekat, letaknya hanya di seberang jalan depan rumah. Waktu sekolah pun dengan kondisi seadanya tanpa
memakai alas kaki. Saya masih
ingat hingga lulus SD tidak pernah memakai sepatu. Fasilitas
sekolahpun juga sangat terbatas. Meja dan kursi panjang ditempati oleh empat
siswa sekaligus. Papan tulis dari papan kayu bercat hitam dengan kapur sebagai
alat tulisnya. Buku pelajaran pun diberikan turun temurun dari kakak angkatan
sebelumnya. Baju
seragam sekolah pun hanya tiga pasang yang
dipakai
dua hari sekali.
Guru dalam mengajar tidaklah seramah guru model era
milenial. Karakter mendidik
dengan kedisiplinan tingkat tinggi selalu saya rasakan hingga lulus sekolah
dasar. Saya masih ingat dan terkenang dengan dua orang guru saya yang sudah almarhum yaitu
Pak Kas (kepala
sekolah) dan Pak Di (wali kelas enam). Sebelum masuk kelas, satu persatu harus
dapat menjawab soal pengurangan, penjumlahan, perkalian dan pembagian. Apabila
tidak mampu menjawab maka tidak boleh masuk kelas bahkan hingga pelajaran
selesai.
Pak Di khususnya selalu mengajar dengan sangat disiplin. Saat pelajaran mencongak, kedua tangan siswa harus diletakkan di
atas meja. Apabila tidak dapat menjawab maka pemukul rotan akan melayang ke
tangan. Kondisi tersebut
berlangsung setiap pembelajaran Matematika. Meskipun demikian, tidak ada rasa
takut ataupun dendam baik kepada Pak Kas maupun Pak Di. Saat beliau datang
setiap pagi, tetap saja kami berebut membawakan tas beliau berdua ke dalam
kantor. Entah magis apa yang membuat kami selalu menaruh rasa hormat yang
begitu mendalam kepada beliau berdua.
Jangan pernah membandingkan dengan kondisi sekarang yang apa-apa
sedikit anak mengeluh
diperlakukan guru dan bahkan orang
tua mengkasuskan guru. Kerasnya pendidikan pada masa lalu bukan
dimaksudkan untuk menyiksa atau membuat siswa menderita, namun membentuk karakter agar siswa memiliki mental baja serta memiliki
daya ingat yang baik. Apalagi pendidikan menjadi barang yang tergolong mahal
karena tidak semua anak bisa merasakan bangku sekolah.
Sehabis maka siang sepulang sekolah jam satu siang, saya berangkat
menggembala kambing bersama teman sepermainan. Sabit dan karung bekas pupuk selalu saya bahwa untuk mencari rumput. Saat kambing makan
rumput di padang rumput, saya dan teman-teman mencari rumput di pematang sawah.
Waktu menggembala kambing dan mencari rumput pun terbatas hanya sampai
jam setengah empat sore. Oleh karena itu, saya benar-benar memanfaatkan waktu
sekalian untuk bermain bersama teman-teman sebaya.
Kegiatan harian begitu ketat dijadwal oleh Bapak dan
tidak ada toleransi keterlambatan. Apabila
terlambat maka konsekuensinya mendapat hukuman
pukul pantat dengan rotan atau tidak mendapat jatah makan. Maklum saat itu nasi
menjadi barang yang mahal. Nasi jagung dan tiwul (nasi singkong) adalah makanan
sehari-hari kami sekeluarga.
Meskipun menggarap sebidang
tanah sawah punya Kakek, namun hasil panen padi tidak mencukupi untuk dimakan.
Penyebabnya sering
gagal panen akibat
serangan
hama tikus dan wereng. Tak jarang pula dusun saya mengalami paceklik
sehingga masyarakat harus makan seadanya.
Waktu setengah empat hingga menjelang magrib saya
gunakan untuk mengambil air bersih dan memenuhi bak mandi seperti aktivitas di
pagi hari. Selepas
magrib, Bapak sudah bersiap di
meja belajar membimbing saya belajar.
Bapak paling keras mengajarkan matematika. Bapak mengatakan yen
kowe pinter matematika, kowe ora bakal diapusi uwong (kalau kamu pandai matematika, kamu tidak
akan ditipu orang). Saya
sering menangis karena kerasnya Bapak mengajar. Saat kondisi itulah, Ibu
muncul sebagai pahlawan yang
membela dan
menenangkan hati saya. Memang efek
positif yang saya terima dari bimbingan Bapak. Semenjak kelas tiga SD hingga
kelas tiga SMP, saya selalu menduduki rangking satu di kelas. Saat penerimaan siswa
SMA pun, saya berhasil masuk sekolah paling favorit di Karesidenan Surakarta
pada saat itu.
Rasa lelah, capek, kehilangan kebahagiaan masa
anak-anak, penderitaan hidup yang saya rasakan hingga kelas tiga SMP adalah
pengorbanan luar biasa yang telah saya lalui. Mengapa hanya sampai SMP, karena
semenjak SMA hingga menikah saya selalu berada di perantauan. Nenek To dan Nenek Emo,
saksi hidup atas apa yang saya alami, selalu meneteskan
air mata saat bertemu dengan saya hingga sekarang. Mereka tidak pernah membayangkan saya mampu bertahan hingga bisa menjadi seperti sekarang. Mereka begitu terharu dan berulang kali mengatakan bocah ki yen manut bakal nemoni dalan padhang uripe (anak kalau penurut akan menemukan jalan
sukses hidupnya).
Semua yang saya rasakan dahulu tak satupun yang
menumbuhkan rasa dendam. Saya begitu hormat dengan Bapak yang kini sudah
memasuki 74 tahun dan Ibu yang sudah memasuki usia 70 tahun. Selalu tersemat
senyum kebanggaan saat melihat anak-anaknya telah berhasil berkat tempaan
didikan mereka. Tak jarang Bapak bercerita saat bertemu dengan teman-teman
sebayanya sering ditanya piye carane
anak-anakmu iso sukses kabeh (bagaimana caranya anak-anakmu dapat sukses
semua). Saya merasakan manfaat yang mendalam dari apa yang mereka ajarkan pada
masa lalu.
Kini kehidupan di dusun kelahiran saya sudah berubah drastis
ibarat membalik dunia. Sejak masuknya listrik tahun 1994 dan pengerasan jalan
tahun 2000, dusun saya mulai mengalami modernisasi. Kondisi sosial ekonomi naik
strata dari miskin menjadi menengah ke atas. Masyarakat banyak yang merantau
baik di dalam maupun luar negeri serta bekerja di sektor formal. Mulai banyak
anak yang mengenyam jenjang perguruan tinggi. Tahun 2010 boleh dibilang sebagai
tahun keemasan, karena Pemerintah Kabupaten Karanganyar membuka akses jalan
tembus yang menghubungkan dua Kecamatan berbatasan, sehingga jalur transportasi
semakin ramai menuju lokasi wisata di Lereng Utara Gunung Lawu.
Kondisi memang telah berubah drastis. Gaya mendidik
maupun pengalaman hidup yang dulu saya alami mungkin tidak lagi dijumpai oleh
anak-anak di dusun saya sekarang. Namun saya menaruh harapan besar bahwa apapun
gayanya, menempa mental baja pada anak merupakan sesuatu yang harus terus
ditanamkan. Anak-anak pada masa mendatang akan menghadapi kondisi kehidupan
yang lebih keras dari apa yang saya alami dahulu.
Setelah meresapi dan merenungi masa lalu, saya banyak
mendapat hikmah. Hikmah yang saya petik dari pengalaman ini bahwa jangan pernah
menyerah dengan keadaan. Justru dengan bertahan dalam penderitaan akan menempa
mental petarung dalam mengarungi hidup. Hidup ini keras seperti besi maka
hadapilah dengan mental sekeras baja. Karenanya teruslah belajar dan belajar
dari pengalaman hidup yang kita jalani.
Lereng Lawu, 25 Agustus 2020.
Profil Penulis
|
Eko
Daryono, S.Kom lahir di Karanganyar, 20 Desember 1975. Profesi sebagai guru
TIK di SMP Negeri 3 Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Mulai menulis sejak
tahun 1999 dan ngeBlog mulai tahun 2013. Banyak menulis buku tentang sejarah nasional, budaya
lokal, karya ilmiah bidang pendidikan, jurnal dan buku antologi. No HP/WA: 088220032204, email: masdaryono1275@gmail.com, blog: maseko1275.blogspot.com,
facebook: Eko Daryono, instagram: masdaryono1275, twitter : @Maseko06550776
|
Tags:
Pengalamanku
Mntpp bnr2 mnginspirasi bpk eko..tooppp
BalasHapusTerima kasih Pak Nengah... Pak Nengah juga sangat luar biasa berprestasi
HapusMas EKO, MENGINSPIRASI SAYA KELUAR DARI MULUT SINGA KEMISKINAN VS KALA INI MENJADI KEPALA SEKOLAH. BAGAIMANA HAL INI TETJADI IKUTILAH KISAHNYA BERSAMA PENUTUR SIMON ANUNU
BalasHapusDitunggu kisahnya Bapak Simon... Salam kenal dan salam literasi
HapusKisah yang Luar biasa menginspirasi.
BalasHapusKalau sempat, mampirlah di teaching-is-touching.blogspot.com
Matur suwun.Gb!
Terima kasih Bapak atas apresiasinya....
HapusSaya sudah berkunjung ke blog Bapak. Ternyata banyak sekali tulisan yang menginspirasi...Salut